Istirahat bukan berarti berhenti

Siapa yang tahu umur setiap manusia, apalagi manusia tak berguna seperti diri ini. Siapa pula yang akan menebak kapan malaikat kematian akan menjemput, itupun tak seorang pun tahu akan dijemput dengan cara bagaimana. Bisa jadi malah sebelum sempat menghirup nikmatnya dunia, Yang Kuasa sudah menetapkan tuk mati, siapa yang bisa komplain, protes atau mau demo.
Baiklah itu adalah kemustahilan, namun bagaiaman kalau saya berujar itu seandainya saya bisa tahu umur saya dari patokan kanjeng Nabi saya. Paling ngga aku bisa bilang kini aku ada di sepertiga umur saya. Kemudian disepertiga umur ini aku butuh istirahat. Bukan jasadi yang pingin kuistirahatkan bukan pula otak dan pemikiran didalamnya. Juga ngga mungkin ku menyuruh roh ku tuk sejenak keluar dari tubuh dan istirahat di surga.
Namun keimanan saya butuh istirahat, istirahat dari godaan yang melenakan. Duduk sebentar menghirup nafas halaqoh. Memperbaiki shaf yang tak lurus, yang menyisakan beberapa lubang shalat yang kentara. Keimanan ku itu kata seorang yang mafhum agama adalah seperti per. Melingkar dalam lingkaran yang tetap. Namun per itu yang harus dikondisikan apakah harus diletakkan melintang yang berarti merugi, diletakkan terjungkir yang berarti terlaknat atau mau diletakkan tegak berdiri yang berarti aku adalah salah satu orang yang beruntung.
Iman yang kuyakini sebagaimana kuyakini asinnya rasa garam dan manisnya rasa gula, dan hanya diriku ini yang bisa mengentepretasikannya ke dalam pemahamanku bahwa ya yang asin itu garam dan yang manis itu gula. Bila lidah sudah memberikan persetujuan dan pemahaman otak sudah memberikan approval tentang asinnya garam dan manisnya gula. Maka keyakinanku akan mengiyakan tentang garam dan gula.
Selama imanku masih meyakini hal itu maka kini elah tenang seluruh anggota tubuhku baik yang terlihat maupun tidak. Dan saatnya kini tuk beristirahat membersihkan kembali debu-debu yang sempat menempel, membasuh lagi kotoran-kotoran yang sempat terinjak. Agar tak lagi hitam apa yang disinggahinya.
Mungkin di sepertiga umur yang tak pasti inilah saat yang tepat tuk bertolak dan melesat, bergerak menuju pelita. Dan hanya Tuhan yang tahu apakah memang benar ‘pelita’ itu yang kutuju ataukah malah ada petromak di ruangan lain yang memancarkan jauh lebih banyak cahaya dari ‘pelita’ yang sedang kutuju ini. Dibalik tanda Tanya besar yang hinggap itu maka aku harus istirahat di sepertiga umur ini dan meresapi kembali tiap lembar daun yang jatuh kebumi. Tiap tetes air hujan yang turun membasahi bumi. Tiap hembusan awan yang bergerak tanpa tali.
Istirahat bukan berarti berhenti…………


Add to Technorati Favorites

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.