arogannya seorang pelayan

“Gimana ini, orang pemerintahan kok malah menyepelekan rakyat..?”
“ada yang mau minta dilayani malah ngobrol sendiri”
“saya ini mau ada urusan pajak kok malah yg diobrolin tentang arisan, kreditan, tanaman, ngga jelas......”
“saya kenal dengan orang DPRP komisi D lho…kalau saya mau bisa saya adukan ini”
Wah tiba-tiba kalimat itu nrocos saja dari bibir seorang WP yang merasa tidak dilayani dengan baik oleh salah satu “pelayan” dikantor ini. Entah dari mana asalnya ketika kududuk di aula bagian penerimaan untuk melepas penat sebentar.
Saya hanya mendengarkan “curhatan” WP satu ini, karena orang dalam keadaan begini maunya hanya didengar dan diperhatikan. Akhirnya walau bukan bagian saya, saya bantu bapak ini unutk menyelesaikan apa yg sedang diributkannya.
Tak lama berselang senyum mengembang dimulutnya, setengah bercanda dia bilang.
“ngga jadi deh mau saya adukan instansi ini”
“yah kan diadukan juga gimana pak. Bapak kan baru masuk di satu ruangan”\jawab saya sambil tak kalah lebar senyumannya......hehhe
“ya udah pak...terima kasih, siapa nama bapak? Lain kali saya ketemu bapak saja”
“nama saya (sambil saya liatin name tag saya), terima kasih pak atas kesabaran bapak, lain kali ketemu saya juga ndak apa-apa pak tapi alangkah baiknya kalau bapak ketemu dengan petugas yang sesuai dengan urusan yang sedang bapak hadapi saja.” Jawab saya.
“karena tidak semua ilmu Pajak saya kuasai sepenuhnya.”
Sebelum pergi bapak itu mengucapkan salam, untung tidak disertai “menyelempitkan” secarik amplop. Karena selama ini bila kita sedikit memberikan pelayanan hal klasik akan terjadi yaitu secarik amplop menyertai. Dan itu adalah kondisi yg membuat saya dilemma. Disatu pihak ada keinginan untuk menerima (jujur saya juga suka uang), di lain pihak kode etik kita sebagai pelayan akan tercoreng (ini lebih munafik lagi kali ya….)
Namun itulah fenomena yg terjadi disekitar lingkungan instansi kita “tercinta”. Dan fenomena itulah yg berusaha tidak akan saya bicarakan. Karena fenomena yg kompleks tidak selayaknya hanya dibahas dalam satu sudut pandang yang naïf ini.
Sudah sekitar 3 bulan ini penagihan tidak mendapatkan seorang JSPN, sehingga saya yg sebetulnya di subsie TUPP harus merangkap menjadi pjs JSPN. Dan menelusuri sudut kota hanya tuk menyampaikan sebuah surat, yang kebetulan ketika membaca judulnya sudah akan memberika reaksi keras kepada si penerimanya. Namun dari pengalaman dilapangan itulah saya dapat banyak sudut pandang dan opini tentang Pajak dan aparat pajaknya. Ada yang baru denger nama kantor Pajak saja langsung memasang muka masam. Bahkan ada yang segera menutup pintu sampai melepas ikatan leher anjingnya.
Citra Pajak dimata masyarakat sudah terlanjur “kepleset”, kayaknya Pajak itu adalah musuh masyarakat yang akan selalu merongrong harta mereka.Sedang hokum Pajak adalah bisa dipaksakan, namun dalam pelaksanaannya bila terjadi maka citra Pajak akan semakin buruk. Sehingga langkah persuasife adalah lebih manjur. Peninggalan Pajak yang arogan harus ditinggalkan.
Ditambah fenomena di kantor Pajak diatas, keluhan yang memang mendasar dari salah seorang WP yang merasa tidak dilayani dengan seharusnya. Semakin menambah citra buruk yg disandang aparat Pajak. Jadi jangan bangga dulu bila anda menyandang instansi Pajak di name tag anda, itu adalah beban di masyarakat. Tanggung jawab anda sekarang adalah mengubah citra itu menjadi pelayan Negara yang baik dan persuasife.
Status anda bukan pegawai, anda adalah pelayan. Kewajiban anda adalah kepada rakyat dan hak anda adalah jaminan negara.



Add to Technorati Favorites

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.