pukullah dengan keras, putriku!

Suatu kali si sulung ku dengan semangat ikut ayahnya ke masjid terdekat tuk sekedar menemani sang ayah melintasi rimbunnya bamboo disebelah rumah. Ada kalanya si sulung takut sang ayah tersesat walau masjid itu hanya dipisahkan oleh salan aspal tipis yang lebarnya tak lebih dari meter.
Kesempatan itu sangatlah langka bagi sisulung, karena sang ayah jarang mengajaknya ke masjid karena menurut sang ayah perempuan memiliki tempat shalat terbaik yaitu di ujung terdalam rumahnya. Untuk kali ini sang ayah dengan begitu saja mengijinkan sisulung mengikutinya ke masjid, tentu saja dengan banyak peringatan. Jangan rame lah! Jangan lari-lari diantara orang shalat lah! Dan banyak lagi yang lainnya peringatan untuk anak dibawah 5 tahun yang diajak ke masjid. Sewajarnya karena ketakutan akan dimusuhi tetangga, bukannya kekhawatiran akan memberikan didikan yang keliru.
Ternyata dimasjid itu tak hanya sisulung seorang yang ikut sang ayah ‘bermain’ di masjid, ternyata dari sekian banyak tetangga yang memiliki balita hampir semua yang datang berjamaah mengajak anak-anaknya. Ayah sisulung hanya menggelengkan kepala pertanda dia sudah bisa menguak masa depan setidaknya 10 menit yang akan datang sudah bisa tertebak apa yang terjadi.
Hanya tinggal tahiyyat akhir sang ayah sudah mendengar tangisan dari balik arah kiblat, sehebatnya sang ayah berusaha khusuk suara tangisan itu benar-benar membuyarkan fokusnya demi mendengar suara yang begitu akrab didengarnya. Tepat seperti dugaannya ketika salam selesai diucapkan benar-benar suara tangis sisulung yang dihapalnya tiap hari telah pecah.
Dibelainya mukena kecil sisulung disandarkannya dibahunya dan sang ayah mulai memberi nasehat kepada putri tercintanya, walau sang ayah yakin putrinya belum mengerti benar apa yang ingin disampaikannya.
“cantik, apa yang membuatmu menangis?” Tanya sang ayah
“fulan memukul kepalaku”
Tampak lebih geram muka sanga ayah mendapati putrinya menahan sakit dikepalanya karena pertengkaran kecil seorang anak yang mungkin tak pernah lewat dari 1 jam.
Sang ayah dengan tenang berpesan,
”putri ayah yang cantik,ayah tidak menerima pengaduan bila ketika bermain engkau merasa tersakiti maka ayah mengijinkanmu menyakiti juga.memang itu akan mendidikmu arogan namun setidaknya kamu arogan terhadap ketidak adilan. Putri ayah yang rupawan, ayah tidak melarangmu menangis tapi bisakah tangisanmu itu engkau rubah menjadi bukti lembutnya perasaanmu, setidaknya tangisanmu adalah bentuk lemah lembutnya hatimu ketika bergaul.”
“putriku, ayah tidak pernah membedakan kamu dengan saudaramu yang laki-laki karena kelak yang membedakanmu hanyalah hatimu. Bila saudara lelakimu harus mengerti bagaimana menjadi perawat rumah tangga yang baik engkaupun akan mendapat didikan sebagi petarung yang tangguh.”
“sulungku, kini kembalilah bermain diusiamu kini kamu adalah ratu jangan biarkan kedewasaan merenggut bahagiamu bermain, jangan seperti buah yang masak dalam peraman. Kelak bila waktunya telah tiba engkau akan tumbuh menjadi sebuah pohon rindang yang lebat dengan akar menghunjam jauh kedalam bumi, menaungi yang lemah memberi makan pad ayang kekurangan dan menjadi kayu bakar bagi kebenaran.”
“putriku, diurat nadimu do’a-do’a malam orang tuamu mengalir jangan pernah menyerah pada congkaknya dunia!”
Kemudian diakhir malam itu sisulung tidur dipangkuan sang ayah dengan damai.

Add to Technorati Favorites

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.