Perempuan Batu

A,B,C…………kudengar ejaan itu dari balik bilik kecil beratap jerami dan berdinding geribik. Kecil namun suasana hangat jelas terasa sampai ke jalan setapak yang kulalui ini. Laun kudengar ejaan itu hanya berhenti di E dan kemudian mengulang lagi ke A kemudian B….kemudian mengulang lagi. Entah berapa kali sampai ku tepekur didepan geribik itu mendengar betapa polos suara yang sedang mengeja itu.

Sejenak berlalu keluarlah sosok manis sedikit kumal dengan rambut tergerai hitam nan panjang. Mimiknya riang penuh semangat tiada derit gelisah di paras eloknya.
“inah, hati-hati dijalan!” sebuah suara
membuatnya menoleh dan hanya tersenyum
Sosok yang dipanggil inah itu berlalu sambil menyanyi kecil menuju rumahnya yang tak jauh disitu.

Gadis itu terlihat dewasa. Namun hanya sampai huruf E dia mampu hafal dan hanya beberapa huruf hijaiyah yang mampu di eja, begitupun hanya syahadat dan syalawat yang mampu terucap dari bibir merahnya.inah terbelakang. Bukan bodoh, bukan linglung. Hanya kesadarannya tidaklah lengkap umur dan sosoknya bukan lagi ukuran untuk kewarasan pemikirannya. Dia pun bukan sakit jiwa seperti yang orang-orang kampung kira. Dia hanya sedang berimajinasi dengan angan-angannya.

Sedang suara yang memanggilnya dari dalam geribik mini itu adalah seorang mahasiswa KKN yang ditugaskan untuk mengaplikasikan studinya di kampung terpencil itu demi gelar yang dicita-citakannya. Dari sebuah universitas islam terkemuka. Mahasiswa shalih yang dibekali ilmu agama dan akademis yang mumpuni itu dikenalkan dengan dunia yang jauh dari peradaban kota. Sebuah kampung terpencil ditengah hutan dipinggiran sungai besar yang membelah sumatera ini.

Hampir tiap sore inah belajar dari mahasiswa yang oleh tetangga kampungnya dipanggil Hari ini. Inah yang tidak diterima di SD terdekat rumahnya ini masih memiliki cita-cita setidaknya untuk mampu membaca sebuah koran satu-satunya yang sampai di kampungnya. Cita-cita yang tidak tinggi namun sangatlah bermakna untuk gadis terbelakang seumuran inah.

Dan Hari dengan sabar disela-sela kegiatannya membantu guru di SD kampung itu membantu inah memberikan kurikulum yang sebenarnya tidak dia kuasai sama sekali. Yah kurikulum bagi SLB. Kurikulum yang sama-sekali tidak disentuhnya. Namun Hari bertekat akan meninggalkan sesuatu yang bermakna bagi inah.

Sore itu pelajaran mengeja dimulai lagi kali ini huruf hijaiyah yang dikenalkan Hari kepada inah. Disela-sela gemericik air. Huruf alif, ba`, ta` menggema dari dalam geribik kecil itu. Suara inah tergagap diantara isapan jari kelingkingnya. Kemudian kalimat syahadat dan salawat bergantian terucap dari bibir inah. Semakin lama kalimat itu semakin jelas dan semakin lancar. Hari yakin inah memiliki otak yang cerdas. Walau belum lengkap.

Bulan berganti bulan tahun berganti tahun berlalu, Hari yang sudah diujung tugasnya mulai memberikan pelajaran terakhir bagi anak didiknya, inah tak terkecuali. Dan di dalam diri inah Hari sudah menjadi sosok tak tergantikan baik sebagai guru privatnya maupun sebagai batu sandaran bagi setiap keluh kesahnya. Inah merasa Hari adalah pengganti bapaknya yang telah meninggalkannya bertahun-tahun yang lalu ketika dia masih kecil.

Tibalah saat dimana Hari harus pamit kepada penduduk kampung yang bersedia menampungnya selama ini. Air mata punduduk kampung mulai pecah ketika Hari dilepas dengan upacara adat kecil khas penduduk setempat. Inah hanya tersenyum manja tak mengerti apa gerangan yang terjadi. Inah hanya sembunyi dibalik pohon sambil matanya tak berkedip memandang sosok Hari,yang kian lama kian menjauh dari pandangan. Dengan sampan kecil Hari diantar penduduk setempat menuju Bandar kecil tempat dimana hanya disitulah satu-satunya alat transportasi darat yang bisa sampai kekota terdekat.

Sepeninggal Hari, inah bingung, inah kehilangan sosok guru, sosok bapak dan sosok..,sosok yang menghadirkan keindahan pada hari harinya. Gadis terbelakang itu jatuh cinta. Cinta yang sederhana bagi sosok yang tak mengerti kelanjutan kalimat syahadat. Cinta yang tak kan didapatkan dari gadis waras dimanapun. Inah gadis terbelakang itu merasakan sesuatu yang hangat dihatinya ketika hari mengajarinya huruf A,B,C dan entah apa kelanjutannya. Hari yang mengajarkan huruf hijaiyah, Hari yang mengenalkan Tuhan Allah pada bibir inah. Walau inah tak mengerti apa arti Tuhan bagi dirinya.

Inah merasa sepi sepeninggal Hari. Disamping geribik itu inah setiap hari hanya duduk. Duduk diatas batu hitam yang melekat pada penyangga geribik kecil tempat Hari setiap saat menghabiskan masa tugasnya di kampung itu.inah menunggu hatinya kembali hangat. Inah menunggu datangnya Hari.

Suatu kali emaknya menyuruhnya pulang, namun inah tak bergeming. Inah bagai menyatu dengan batu hitam itu. Berhari-hari, berbulan-bulan hanya emaknya yang sabar mengiriminya makanan. Inah telah menyatu dengan dinginnnya batu tak peduli hujan tak peduli terik mentari. Menyatu dengan hangatnya kehadiran Hari dalam hatinya.

Perempuan batu itu, tidaklah gila. dia hanya sedang jatuh cinta. Cinta sederhana yang hanya mengharapkan kehangatan.Inah si perempuan batu itu bingung dengan siapa kini mencinta. Karena dilantunan bibirnya tiada tersebut Hari. Yang ada hanya syahadat dan salawat yang diajarkan Hari kepadanya. Sedikitpun tiada nama Hari di igauan inah gadis terbelakang itu. ...“Tuhan Inah Allah, AsyhaduAlla ila ha illallah".....terus kalimat yang diajarkan Hari yang mengisi hari-harinya. Entah kini inah mencintai Hari atau mencintai Allah Tuhannya.Perempuan batu kami menyebutnya,Inah.

-terinspirasi : BP 11 Februari 2007

-repost for IBSN-


2 komentar:

  1. Semoga tak hanya Perempuan batu, tapi Perempuan Alkaline...

    BalasHapus
  2. hehehe emang batu baterai mas....ada ada aja mas nih..

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.