Bahagianya menjadi miskin


Kali ini saya diajak masuk ke daerah antah berantah yang jauh dari jalan beraspal. menyusuri berhektar-hektar kebun sawit dan beberapa petak sawah kering yang ditanami jagung. daerah ini seperti banyak daerah lainnya disumatera adalah daerah rumpun transmigran yang sejak sekitar tahun 60 an telah diberi tanah untuk digarap.

Bahasa jawa halus kental sekali terdengar ditelinga, karena memang penduduknya adalah transmigran yang berasal dari daerah jawa tengah dan beberapa daerah jawa timur bagian barat. bahkan rumah-rumah yang mereka bangun disana masih mencerminkan kehidupan jawa dan suasana jawa. rumah-rumah kecil dengan beranda dan halaman-halaman yang hanya ditumbuhi semacam rumput liar yang diatat rapi. tanpa pagar tanpa gerbang. menandakan keramahan penghuninya, namun begitulah kenyataannya ketika kaki capek melangkah saya coba masuk ke salah satu rumah dan meminta sedikit air putih. respon yang jelas tak didapatkan dikota, dengan tangan terbuka mereka malah mempersilahkan masuk dan menjamu dengan air teh dan menawarkan sebungkus rokok ‘klobot’. sayangnya saya sudah berhenti merokok.

Kehidupan dipedalaman tanah transmigran itu mengingatkan akan bersahaja kehidupan di lingkungan kakek saya dulu, sebuah desa kecil dibantaran sungai opak kretek, Ngayogyakarto Hadiningrat. kakek yang hanya seorang petani dnegan sawah petak kecil dibarengi 2 ekor sapinya yang tiap hari minta perhatian lebih besar dari nenek, membuat saya memahami kehidupan ini dari sudut kesederhanaan yang membahagaiakan, kekurangan yang selalu memuaskan dan kebersyukuran dalam kemiskinan.

Karena waktu tidaklah memburu saya ketika itu, ajakan penghuni rumah tuk memriksa kambingnya di kebun sawit saya iyakan saja. layaknya kegiatan “jejak si gundul” saya dengan senang hati membantu bapak tua yang selalu menyumpal bibirnya dengan rokok ‘klobot’ itu menggiring kambing-kambingnya ke kandang.

Yang kembali membuat saya kagum dan tak habis pikir, sepanjang perjalanan bapak tua ini hampir menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya. padahal jarak rumah dan tempat kambingnya digembala tak kurang dari 500 m. dan bapak ini selalu menyapa orang-orang itu dengan namanya bahkan tak segan menanyakan keadaan keluarganya dan kegiataannya selama ini. Benar-benar suasana yang tak saya dapatkan dikomplek rumah. kekerabatan yang masih begitu lekat, kebersamaan yang mendarah daging.

Di ujung gang dekat rumah pak tua itu ada sebuah bangunan kecil, bila dikampung dulu namanya ‘pos siskamling’ tempat kami biasa mangkal malam tuk berjaga atau hanya sekedar kumpul bercanda dan ngobrol dengan tetangga. yang membuat saya kembali terkagum adalah di pos itu terdapat sebuah papan yang berisi jadwal piket seluruh warga disitu. piket malam ronda keamanan tersusun dengan rapi disamping sebuah tabel yang berisi semacam kode untuk memukul kentongan.

Sistem ini adalah sistem lama yang benar-benar saya ingat ketika di kampung kakek dulu. saya pikir sistem ini sudah dilupakan dan tak berbekas lagi. ternyata di daerah transmigran ini sistem itu masih lestari terjaga. Disamping banyak hal yang membuat saya bernostalgia dan kagum akan keramahan warga transmigran itu ekspedisi saya kali ini memberikan wawasan akan kultur kehidupan warga yang terisolasi ini. jauh dari kehidupan kota tidak mengenal mall, mini market telepon umum, komputer dan sebagainya. hanya saja kehidupan mereka memberikan gambaran kepada saya bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat berbahagia. saya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan saya telah mengenal mereka walau hanya sehari.

Walau hanya dengan secangkir teh dan sepiring singkong rebus. mereka hidup dalah kesahajaan. saya belajar dari mereka.



14 komentar:

  1. yah memang bnar kita janagn hanya meratapi nasib kita knapa kita miskin..
    tetapi kita harus mensyukurinya karena ada hikmah dibalik semua itu.....

    BalasHapus
  2. kebahagiaan memang tidak secara mutlak dinilai dari segi materi, kebahagiaan adalah bagaimana seseorang dengan pandai menyikapi suatu keadaan.. :)

    BalasHapus
  3. memang jauh berbeda dgn keadaan perkotaan atau zaman saat ini,walau kita rindu akan suasana seperti itu,untuk ke depan kita harus siap dengan pola yang lebih baik

    BalasHapus
  4. desa harus jadi kekuatan ekonomi, agar warganya tak hijrah ke kota, sepinya desa adalah modal utama untuk bekerjadan mengembangkan diri...

    BalasHapus
  5. Saya belum kaya, tapi semoga bisa mencicipi yang namanya bahagia juga.
    Sukses buat Masicang, smpga bahagia selalu...

    BalasHapus
  6. om...kawan2 kublog yang disini sapa aja?

    BalasHapus
  7. @katobengke : tepat ..intinya adalah syukur

    @itmam : saya bahagia anda berkunjung ke blog saya mas itmam..

    @ayruel chana : dengan spirit desa menyambut kehidupan kota

    @indra putu achyar : iwan fals benerrrrrrrr...

    @katobengke : saya disini aja mas....

    @marsudiyanto : saya belum bahagia pak tapi mencoba tuk kaya..hehe

    @ayik : tuh cek aja di bagian blogngeroll yik ada nama yang diingat ngga?

    BalasHapus
  8. Kaya ato miskin itu relatif, yg kaya materi tetapi miskin nurani, tetap akam merasa kekurangan mas...makanya main ajah ketempatkuh.,buat yg lapar, boleh makan sepuasnya.,tp bayar yach...xixixi, aw...

    BalasHapus
  9. yah... kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang... *pengen juga jadi orang yang bahagia*

    BalasHapus
  10. saya jadi inget kata-kata seorang teman di ciblog, kalo nggak salah nicknamenya physiux : "happines doesn't cost a thing"

    dimanapun,
    bagaimanapun,
    kapanpun,

    sesungguhnya orang dapat bahagia...

    BalasHapus
  11. Selalu, orang2 dgn kesederhanaan menakjubkan kita...
    Menyadarkan kita bahwa merekalah perhiasan dunia...

    BalasHapus
  12. miskin harta tapi tak miskin moral ataupun hati, hidupnya malah adem ayem tentrem yah:)

    BalasHapus
  13. Wong urip kudu 'sawang sinawang-' apik ora apik, penak ora penak wis ono jatahe dewe2.

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.