Nasib marbot dan keluarganya


Agenda rapat Akbar tahunan tuk membentuk DKM Al Hamas berakhir ricuh karena rel yang ditetapkan meruncing pada acara pengusiran marbot dan keluarganya drai lingkungan Masjid. Jadwal rapat yang diharapkan selesai jam 10 molor sampai jam 12 malam. Para peserta semakin kelihatan egoisnya dan masing masing berusaha mempertahankan argumennya.

Si marbot Masjid hanya nyengir kuda dipojokan ruangan, entah sadar atau ngga dia statusnya sekarang adalah ‘pesakitan’. Dengan masa lalu seorang centeng pasar, dan muka sangar sepertinya setiap argument pembelaan akan mentah saja dihadapan para jaksa cecunguk ini. Hakim mbelgedes dengan atribut kecongkakan memaerkan kuasanya menatap jelas. Ah semua kata yang tak pakai diatas hanyalah hiperbola menggambarkan situasi ini sudah sangat genting bagi ‘pesakitan’ tadi.

Malam itu acara adalah silaturahim antar tetangga plus pengajian komplek yang didatangi bapak-bapak dari ujung gang hingga pangkal sungai, karena sebuah area yangs aya sebut komplek hanyalah kumpulan rumah yang digadai seorang developer dengan harga riba yang berbatasan langsung dengan rumah kampong yang dinotabenekan sebagai kaum tertinggal dengan pendidikan pas-pasan yang akan menjadi pelengkap sikaya sebagai buruh dan tukang bantu rumah tangga sikaya.sekat memang tak terlihat namun pembeda antara si kaya dan si miskin jelas berdasar profesi dan kebiasaan berpakaian.

Kebetulan marbot yang kini berposisi sebagai ‘pesakitan’ adalah dari kalangan miskin dan yang menjadi hakim dan jaksa adalah si kaya. Entah kebetulan atau ini memang kenyataan dikehidupan nyata. Yang pasti sangat enak menjadi tukang vonis dan alangkah sengsaranya menjadi ‘pesakitan’

Bermula dari kesalahan fatal si marbot membongkar rumah geribiknya tuk segera dipermanenkan dengan bata dan semen, berujung pada pengusiran si marbot dari lingkungan amsjid karena mengungsikan istri dan 3 anaknya ke kamar masjid tempat gudang perlengkapan masjid.

Seorang ustadz muda membenarkan pengusiran tersebut dengan dalih, dikhawatirkan terjadi “hubungan suami istri” di lingkungan masjid yang notabene hal itu memang didalilkan dilarang. Hingga menguak segala aib si marbot yang memang dulunya benar-benar ‘pesakitan’. Hanya satu yang belum masuk pertimbangan para saksi dan jaksa ini yaitu mereka belum pernah merasakan hebatnya amarah ketika dipermalukan didepan public yang menyangkut ‘dapur’ rumah tangga suami istri.

Betapa hinanya marbot ini, betapa luluh lantaknya perasaan ini. Namun disambut sunggingan dan hembusan rokok para pengadil yang jauh lebih hina dan tak bernurani.
Tertunduk lesu si marbot memikirkan kondisi keluarganya, tersenyum lebar para pengadil dengan jari-jari yang mencengkeram palu keputusan ditangannya.

Terkulai menatap hari esok, hujan tak menentu terik mentari menyengot dihari esok bukan lagi pertimbangan manusiawi bagi sang pengadil.

Ketika situasi sudah memuncak seorang saksi ahli berujar “ sejahat-jahatnya seorang penjaha, tidak ada satu manusiapun yang berhak membunuhnya”

Sedangkan malam ini sedang terjadi percobaan pembunuhan kejam, sebuah keluarga.
Saya tidak sedang menanyakan dimana letak keadilan, karena dewi pengadil pun buta dan ‘pengkor’ tangannya sehingga membawa neraca pun tak pernah seimbang.

Saya tidak sedang menanyakan letak hati nurani, karena bagi seorangc erdas nan cendikia pun sebuah nurania bagai kelereng yang selalu menggelinding tak bertepi.

Saya tidak sedang mencari arena pengadilan, karena tribun dan mimbar pengadil pun tak lebih mahal dari harga kerupuk.

Saya tak sedang mengantri urutan parpol , karena aqidah, ibadah dan muammalah pun sudah menjadi panggung politik kotor dan tak kenal kompromi.

Saya tak sedang berpikir karena didalam jiwa manusia tak pernah ada kesadaran yang ada hanya emosi, birahi dan egosentris.

7 komentar:

  1. Aman kan pertamaxxxxxxxx dolo.....

    wah sedih amt di usir dari mesjid satu keluarga tappi itu konsikuensi dari dia buat... Lagian ada dalil yang melarang (mungkin ga taw ya)

    I miss you came to blogs

    BalasHapus
  2. Ekpresi dunia sekitar kitakah ini ? Tapi inilah faktanya. Betapa manusia sering tak bisa memposisikan diri sebagai "si pesakitan" itu.

    BalasHapus
  3. @laksamana embun : selamat anda telah mengamankan pertamax..heheh.. kayaknya emanga da loh mas dalil itu

    @newsoul : berat menjadi 'pesakitan; bu maka hampir tiada orang yang mau menjadi apalagi memahami posisinya

    BalasHapus
  4. sumpah dimana2, nama Allah begitu mudah disanding dosa :((

    BalasHapus
  5. Pernah kejadian serupa, tapi sang pesakitan adalah penunggu lapangan tenis KPP yang juga jadi Imam Masjid KPP. Dia terusir ketukan palu sang kakap,,,,, dan saya pun tak berdaya,,,

    BalasHapus
  6. Kebenaran formil vs kepatutan...

    Sulit, bahkan menontonnya saja sulit...

    BalasHapus
  7. @tovicsky : berat mas ya? bahkan tuk menontonya..
    @tengku puteh : anda memahami esensi yg saya tuliskan mas.... dilema berada diantara dua itu.

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.