Jalanan ini milik kita

“Lihat bunda! Orang-orang itu menertawakan kita”, ucapku lirih mendekat ke wajah istriku sambil tak sekedip pun melepaskan pandangan ke arah motor melaju. Dijalanan yang basah dan hujan lebat mendera, menusuk-nusuk muka laksana sembilu.

“ah tidah, mereka hanya kagum kepada kita mas”, balas istri sambil tersenyum dan semakin mengencangkan dekapannya ke dadaku yang mulai menggigil karena dingin yang menelisik kedalam jaket hitamku. Semakin merekah senyumnya karena sensasi ini ketika speedometer semakin kencang menyalak. Dan jalanan menjadi semakin sepi karena air hujan menghentikan mereka tuk melaju.

Sore itu belahan lain kotaku menunjukkan kemilau keindahannya karena matahari
menghangatkan sorenya. Menimbulkan kehangatan yang kias dalam titik-titik kemelaratan. Belahan kotaku ini bagai emperan surga yang hilang ditepi lautan bergemuruh bersama deburan ombak sore. Tak terlihat mendung tak terendus getah langit, maka kupilih motor tuk membawaku menyibak angin melibas aspal.

Di belahan lain kotaku mendung menggelayut, matahari enggan menampakkan diri, langit hitam, burung-burung tercerai berai dari formasinya, jalanan semrawut, dan camar mulai memekikkan peringatan. Yah Allah Maha Segalanya alam adalah perantaranya, dan waktu adalah medianya. Lihat badai segera datang dan angin tak akan mau lagi memberikan jalannya.

“apakah kita harus berhenti nda?” pintaku kepadanya yang setia melindungi punggungku dari ketidak berdayaan, apakah air hujan bercampur debu ini bisa menghentikan langkah kita? Apakah angin badai mampu menjungkir balikkan kita? Apakah kesemrawutan jalanan ini sanggup membutakan kita?

“jangan coba berhenti, tatap masa depan, lanjutkan perjalanan aku akan setia mendekapmu”, ucapnya lirih diantara desingan tajamnya air hujan dan riuh rendahnya kepakan angin. Diantara pelindung kepalaku dan bekapan erat syal nadiku, bisikan istriku seperti percikan bahan bakar bagi kesadaranku. Bahwa pemberhentian terakhir bagi kami adalah rumah. Tiada bus stop, tiada emperan toko atau teduhnya pohon jalanan. Rumah adalah tujuan pasti diantara banyaknya rintangan.

Tiada lagi keraguan bagiku tuk menambah kecepatan, tiada lagi keinginan tuk istirahat walau hanya sesaat. Lihat..! jemariku sudah membeku, mataku nanar, kakiku kelu namun hatiku masih tetap hangat dan lembut.

“lihatlah sekali lagi nda! Mereka yang dipinggir jalan masih melihat kita dengan mata picing dan mencoba menertawakan”.

“bukankah jalanan ini milik kita sekarang, sayang?” jawabnya membara…… yah jalanan ini milik kita. Kitalah raja dan ratunya.

8 komentar:

  1. salut dan membayangkan betapa romantisnya saat itu... ^_^

    BalasHapus
  2. Postingan yang bagus.. Penuh intrik dan keromantisan di dalamnya...

    Apa kbar kang?

    BalasHapus
  3. Betul mas...apalah artinya hujan badai menerpa...selama belahan jiwa setia dan rumah tangga yg indah didepan mata...tancap gass...!!

    BalasHapus
  4. @isti : hmm...romantis itu definisinya gimana to mbak isti? hehee

    @Laksaman Embun : Alhamdulillah baik pak, mulai nyari 'ketukan' yang hilang ini pak

    @ Srex : selesaikan..!!!! hahahhaha

    BalasHapus
  5. uh...momen yang manis nih mas...hehehee
    kapan ya aku bisa ngalamin hal itu?

    BalasHapus
  6. @clara : jemputlah moment itu, jangan ditunggu!

    BalasHapus
  7. Hebat mas Ichang. Menguasai jalanan berdua ( orang lain minggir semua karena hujan)dengan tekad saling melindungi bersama istri, itu mantap dan seru.

    BalasHapus
  8. @newsoul : hehehe... hanya cerita pengalaman sambil dibumbui keromatisan bu

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.