Respect yourself!

Pak F : mas udah berapa lama berhenti ngerokok?

Saya : kok tahu saya mantan perokok pak?

Pak F : tadi waktu istirahat semua pada merokok, anda ngopi doank. Terus warna bibir anda juga sudah mulai memerah padahal ada sedikit bekas rokok yg mulai menghilang. Terus dari tadi ngangkat tanah pake gerobag kok kuat amat kalau perokok kayak saya jelas udah panas kerongkongan.

Saya : haha…. Tahu aja bapak ini, sudah hampir 3 tahun saya tidak pernah menghisap asap rokok langsungd ari mulut saya pak. Namun ya itu saya tetep dipaksa menghirup dari semburan mulut yg lain.

Pak F : saya ngga termasuk kan?


Kami tertawa lepas bersama setelah percakapan itu. Minggu pagi corongan masjid sudah berbunyi lantang memanggil warga sekitar untuk kerja bakti gotong royong untuk menimbun talud yang sudah jadi. Musim penghujan kali ini benar-benar diluar prediksi, air sungai yang DASnya berbatasan langsung dengan pondasi Masjid membuat ketar-ketir, melihat pondasi Masjid yang bila tak segera ditangani bisa-bisa ambrug.

Warga satu komplek sepakat minggu pagi tuk gotong royong nimbun dari tanah yang juga sudah dipesan rame-rame. Melihat bapak-bapak bekerja dibawah terik matahari para ibu tak mau ketinggaland engan menyediakan makanan kecil, gorengan dan wedang kopi atau teh dalam porsi meluber. Sehingga membuat para bapak semakin semangat tuk bekerja agar cepat selesai dan segera menikmati suguhan nikmat ini.

Ditengah nikmatnya terik matahari dan aroma tanah yang masih bercampur air hujan itulah topic berhenti merokok dilontarkan Pak F kepada kerumunan dan saya yang menjadi objeknya, karena memangs aya satu-satunya yang mantan perokok. Yang lain ada yang masih perokok dan ada pula yang tidak pernah bersentuhan dengan rokok sedikit pun.

MUI jelas sudah mengharamkan merokok, namun tiada nash yang mengharamkan rokok itu sendiri. Jadi rokok bukanlah hal/barang haram. Namun efek negative dari rokoklah yang menjadi point bagi MUI tuk mengeluarkan fatwa keharamannya. Polemic? Silahkan bahasan ini sudah terlalu panjang tuk diurai lagi. Masing-masing pihak baik yang pro dan kontra telah memiliki keyakinan masing-masing tuk merasa paling benar. Lagi pula malas mau bahas polemic halal haramnya.

Yang ingin tak bagi adalah apa yang saya tangkap tadi dari perbincangan dari para bapak perokok yang kemudian membuat saya trenyuh, kasihan bahkan masih bangga. Saya trenyuh ketika beberapa bapak berujar,

“sebenarnya pingin sih berhenti merokok, tapi bagaimana caranya?”

“melihat bapak bisa, kenapa saya susah sekali ya?”

“oh pantesan saya lihat akhir-akhir ini bapak kelihatan lebih segar”

Dan banyak lagi komentar yang sebenarnya mereka sadar, kerugian merokok namun mereka tidak sanggup tuk menghentikan kebiasaan itu. Saya juga heran apa kelebihan saya dibanding bapak itu sehingga saya mampu dan mereka tidak.

Ketika saya ingat memory kebelakang, saya berhenti merokok dimulai dari ketika saya menderita batuk yang berkepanjangan, hamir 1 bulan penuh batuk saya tidak sembuh-sembuh dan mulai membuat saya jengkel. Akhirnya dengan terpaksa saya harus berhenti merokok mengikuti saran istri.

1 minggu, 2 minggu, 3 minggu tak terasa 1 bulan saya tidak menyentuh barang yang kata Chairil Anwar tuhan Sembilan centi itu, tuhan yang membunuh Chairil Anwar sendiri. Hingga sampai beberapa bulan saya sanggup menahan keingin tuk kembali merokok, dengan semangat dari istri dan sulung saya yang mulai bisa mengatakan, “Ayah main sama mbak ya? Okoknya dibuang aja.” Demi kalimat ini semangatku semakin besar tuk tidak menyentuh rokok lagi.

Namun semakin hari godaan itu semakin besar, 3 sampai 5 bulan pertama tidak bersentuhan dengan rokok sangatlah tersiksa, disamping keinginan yang mulai kambuh lingkungan juga mulai tidak bersedia merelakan saya meninggalkan kebiasaan merokok ini.

Rekan mulai mengadakan taruhan atas saya, bahwa saya pasti akan merokok kembali, warung rokok sebelah rumah mulai menanyakan apakah saya berubah selera rokoknya, hingga banyak teman yang mulai menawarkan rokok gratisnya kepada saya.
Yah inilah lingkungan, tergantung kita apakah diri kita hendak menjadi thermometer yang selalu terpengaruh oleh lingkungan, atau menjadikan diri kita seperti thermostat yang harus merubah dan mempengaruhi lingkungan apapun yang lingkungan itu tawarkan thermostat akan tetap berusaha merubahnya sesuai grand desainnya. Pilihan saya waktu itu, saya harus menjadi thermostat.

Setidaknya dimulai dari diri sendiri tuk berubah lingkungan akan merespon seperti apa biarlah nanti menghadapinya. Ternyata lingkungan merespon dengan baik, kawan yang biasa nongkrong bareng, rekan kerja, bahkan keluarga mulai kagum dengan tekad yang kutunjukkan. Mereka mulai enggan menawarkan sebatang rokok pun ke saya, bahkan mereka mulai malu dna segera menyembunyikan rokoknya ketika saya datang.

Hingga kini saya harus menjadi agen anti tembakau for your own health. Jangan dulu berpikir apakah asap rokok yang saya semburkan mengganggu sekitar saya, jangan dulu bersimpati dengan para pekerja pabrik rokok yang akan di PHK ketika pabrik rokok tutup, atau jangan dulu berargumen tentang Halal haramnya merokok yang dikeluarkan melalui fatwa oleh MUI. Pikirkan paru-paru anda sendiri.

Bagaimana ini bisa terlupa oleh para perokok? Mereka mempedulikan orang lain namun lupa dengan dirinya. Bagaimana bisa ia bersimpati dengan tulus bila tak bisa bersimpati kepada dirinya. Bagaimana mungkin mereka bisa berargumen dengan para penganut kontra rokok sedangkan mereka tak bisa berargumen dengan tubuhnya sendiri. Jangan dulu menghormati orang disekitar anda dengan memaksanya menghirup asap rokok yang keluar dari mulut anda,padahal anda tidak menghormati kesehatan anda sendiri.

Ah..kok jadi gini?

16 komentar:

  1. aduh saya perokok mas nggak bisa berhenti

    BalasHapus
  2. udah berusaha semaksimal mungkin berhenti tapi tetap nggak bisa habis semua kolega dan rekan guru juga ngerokok

    BalasHapus
  3. @munir ardi : ngga ada kata ngga bisa.... semangatnya kurang kuat.

    BalasHapus
  4. keren kerennnnn. untung aku bukan perokok :D, mas ichang salut sama perjuangannya :D, semoga menular kepada smoker lainnya :D

    BalasHapus
  5. ayo, contohlah mas ichang, smoker sejati :D, demi kesehatanmu, :)

    BalasHapus
  6. aku juga bingung kenapa ya orang kok bisa kecanduan sampe segitunya sama rokok? kalo bukan sesuatu penyakit yang mengingatkan untuk berhenti, pasti akan susah untuk berhenti

    BalasHapus
  7. Hai...

    perdana kesini... main-main, tinggalin komen sekalian follow... Ditunggu kunjungan baliknya ya... :)

    salam,

    ninneta

    BalasHapus
  8. @inuel : amiin

    @nyunz : for ur own health

    @clara : kecanduan mengalahkan segalanya

    @ninneta : segera follow back.. terima kasih telah berkunjung

    BalasHapus
  9. Aku juga ga suka orang merokok... asapnya sering membuatku sesak napas.
    Tapi susah sekali ya membuat orang berhenti merokok.

    BalasHapus
  10. Alhamdulillah bisa berkunjung lagi.
    Salam hangat!

    BalasHapus
  11. Belum bisa ngengurangi atau berhenti merokok nih hehe..

    BalasHapus
  12. Turut silaturahmi sekalian ngenalin diri :-D

    BalasHapus
  13. mas aku nih kemarin baru merasakan betapa tersiksanya ketika berada di antara perokok berat di dalam bis selama lebih kurang 12 jam. asli mual mas

    BalasHapus
  14. @reni : yg pasif kabarnya lebih besar efek negatifnya dari yg aktif..

    @kips : salam hangat sehangat kompor mas..hehehe

    @kasomu : makasih udah berkunjung sebisa mungkin akan saya balas...

    @dwina : hmmm.......giniin aja mbak "tak ada yang memaksa kamu merokok, kenapa kamu memaksa aku menghisap asap rokokmu?"

    BalasHapus
  15. @indra : hmm... kalau gitu cara terbaik adalah menghormati udara yg dihisab sesamu kawan

    BalasHapus
  16. Suatu hari Abu pun harus begitu, stop...

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.