Kado Rindu Buat Ayah

Entah perayaan hari apa kini, yang pasti hari ulang tahunnya pun sudah terlewatkan. Sepertinya juga tak ada hari khusus yang ditetapkan akan berat dan hebat tanggung jawabnya. Setidaknya ada 75 negara yang menjadikan pekan ke-3 dibulan Juni setiap tahunnya untuk memberikan off day kepada sosok ini untuk dapat merenungi tugas hebatnya mengiringi keluarga. keberadaannya dalam tugas dan tanggung jawabnya, namun tidak di negeri ini. Sosok ini hampir terlewatkan untuk dikenang bahkan di bicarakan, namun kesannya tak akan pernah luntur dalam sebuah kehidupan. Ayah, dalam sekian malam kadang terselip rasa rindu.

Teringat banyak hal yang membuat ikatan dirimu dan egoku begitu menggumpal, berseberangan bagaikan timur dan barat. Namun kau tak pernah putus asa menyapaku di pagi hari, hanya untuk mengusap dahiku dengan air wudhu. Tak jarang pula kita berbeda pendapat, hingga hampir tangan kita beradu kepalan. semua itu tak lain karena miripnya kekeras kepalaan yang kau turunkan kepadaku.

Di sela-sela kutulis ini kita tak lagi berdekatan, sayup-sayup lantunan syair dan lagu yang mengambang di udara yang memasuki telaingaku, merambat pelan hingga sampai di lyric-lyrik ini;

….Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras
namun kau tetap tabah hm...
Meski nafasmu kadang tersengal
memikul beban yang makin sarat
kau tetap bertahan……..

Ayah, lambat laun ku mulai sadar bahwa usia tak akan pernah berbohong betapa hikmah sebuah perjalanan sangatlah hebatnya tergambar di dalam setiap petuahmu. ketika kutub-kutub tubuh kita terpisahkan jarak dan waktu kau selalu berpesan;

“sebuah tiang besar telah ku tegakkan diatas kapalmu, singkaplah layar itu agar terkembang, agar setiap angin meniupnya dengan kencang. agar kau tahu bahwa dunia ini begitu luasnya. Namun ingat di perjalanan kelak aka nada banyak tiang-tiang lain yang akan tegak disamping tiangku itu, ingat ucapanku nak, jangan pernah kau robohkan tiangku itu!”

Bertahun-tahun kuanggap itu hanyalah pesan biasa seorang ayah yang hendak ditinggal pergi anaknya, bertahun-tahun pula ku tak memahami makna kalimat itu. hingga suatu saat ku menyadari kebodohanku, ku menyadari kenaifanku. dunia ini begitu luasnya, perjalanan seorang laki-laki akan menancapkan tiang baru di setiap masa, memberinya arti sosok laki-laki. memberinya warna indah untuk ditularkan kepada anak-anak cucunya.

Yah, aku baru menyadarinya bahwa perjalanan lelaki itu bagaikan air yang selalu mengalir dari hulu ke hilir, di setiap kelokan, di setiap kubangan, di setiap das, di setiap bendungan, air terjun dan diantara bebatuan perjalanan air akan menjernihkannya hingga ketika tiba dimuara air ini akan siap menyatu dengan luasnya samudera.

……Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setia……

Satir dan Elegi terngiang dalam setiap baris kemeranggasan kayu tua yang mulai lapuk termakan usia, bulir-bulir sendu kepayahan yang amat sangat menahan hempasan ketika aku pun mulai sanggup berkata ‘tidak’ .

Lekuk-lekuk pipimu membuatku yakin bahwa ketidak hadiranmu ketika ku lahir didunia ini bukanlah kesengajaan, ku tahu kau sangat menginginkan menimangku sesaat ketika ku lahir. tapi lihatlah puteramu ini, hanya bisa menangis dan berteriak ketika sedikit saja beban hinggap.

Ayah dalam sisa-sisa pengabdianmu pada tugas kebapakanmu, ku tersandar dalam kenyataan bahwa kau tak lagi sekekar dulu tuk mengangkatku ketika ku jatuh, tuk menarikku ketika ku terjerembab, tuk menggapaiku ketika ku tersandung dan ayah, sisa-sisa duka ku pun masih tertinggal di bingkai jendelamu.

……Ayah, dalam hening sepi kurindu
untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban………..

Ayah, kita pernah duduk berdua diatas batu dipinggir telaga. melihat tenangnya bayangan rembulan diatas permukaan air, hingga tiba-tiba butiran-butiran air membuyarkan lamunan dan mulai mengaburkan ketenangan air telaga. tiap tetes, tiap percikan air hujan itu siapakah yang akan menghitungnya? siapakah yang peduli terhadapnya? Seperti itulah dirimu mendekap rasa takutku, mengajarkan bagaimana menghadapi dunia ini. tiap tetesnya tiap percikannya tak terhitungkan karena memang ku tak pernah memperhatikan. namun kau tetap memercikkannya, kau tetap meneteskannya tanpa lelah.

Hingga bayangan rembulan itu kembali tercipta diatas tenangnya air telaga, kau tak pernah lelah. kini aku rindu untuk duduk berdua denganmu di pinggir telaga.

Apalah makna hari untuk sebuah pemberian, kukirimkan rindu bersama tiupan angin malam, lirih hampir tak terdengar. bersama itu pula ku kirimkan kado terindah untukmu agar akupun bisa merasakan berat bebanmu, Ayah……

-Lyric : Titip rindu buat ayah~Ebiet G. Ade~-

2 komentar:

  1. indah ...
    kalau saja ayahku tidak sebejat sekarang ,mungkin aku akan menyayanginya ,..

    BalasHapus
  2. sebrengseknya ayah, tanpa dia kita ngga akan pernah ada.

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.