Penangguhan Pelunasan Pajak akibat Pengajuan Keberatan


Sejak 1 Januari 2008 ketentuan hukum yang mengatur tentang ketentuan umum perpajakan di Indonesia secara sah diatur dengan UU No. 28 tahun 2007. Undang-undang ini merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Di dalam undang-undang KUP yang baru ini (UU No. 28 tahun 2007) terdapat beberapa perubahan yang signifikan atas ketentuan hukum yang tercantum dalam pasal-pasal dalam undang-undang KUP sebelumnya (UU No. 16 tahun 2000). Salah satu perubahan yang cukup material adalah perubahan pasal-pasal yang terkait dengan keberatan (pasal 25).

Pasal 25 ayat 7 UU No. 28 tahun 2007 menyebutkan “Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan“. Pasal ini menggantikan pasal yang sama dalam UU KUP sebelumnya yang menyebutkan “Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan“. Berdasarkan perbandingan bunyi pasal tersebut bisa dikatakan bahwa dalam UU KUP yang lama jumlah pajak yang kurang bayar dalam ketetapan pajak sudah merupakan utang pajak dan oleh karena itu Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk membayarnya. Jika Wajib Pajak tidak membayar utang pajak tersebut maka proses penagihan aktif akan diberlakukan mengikuti mekanisme yang sudah diatur dalam UU PPSP (Penagihan Pajak dengan Surat Paksa). Dalam UU KUP yang baru yang menjadi utang pajak adalah sejumlah pajak yang disetujui oleh Wajib Pajak dalam pembahasan akhir pemeriksaan (pasal 25 ayat 3), sedangkan jumlah pajak kurang bayar yang akan diajukan keberatan oleh Wajib Pajak belum merupakan utang pajak. Oleh karena itulah jangka waktu pelunasannya tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

Apa yang melatarbelakangi perubahan ketentuan dalam pasal 25 ayat (7) ini? Dalam memori penjelasan I (Umum) UU no. 28 tahun 2007 disebutkan “Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban perpajakan bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik“. Seperti diketahui bahwa pengusaha (Wajib Pajak) merasa SKPKB yang notabene merupakan hasil pemeriksaan harus dibayar, padahal di sisi lain dalam penetapannya masih banyak permasalahan yang menurut Wajib Pajak masih termasuk dalam grey area. Atau bisa juga karena pemeriksa yang tidak memiliki temuan dalam pemeriksaannya tetapi akhirnya diharuskan memiliki temuan, dan berakhir dengan SKPKB yang besar tetapi masih diragukan kebenaran hasil pemeriksaannya. Hal ini merupakan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Oleh karena itu dengan diubahnya ketentuan dalam pasal 25 ayat (7) ini diharapkan akan memberikan keadilan bagi Wajib Pajak.

Ketentuan yang baru ini juga merupakan suatu bentuk kepastian terhadap Wajib Pajak maupun fiskus. Wajib Pajak yang yakin benar bahwa kasus yang dimilikinya kuat dan akan menang, pasti mereka yakin akan mengajukan keberatan. Lain halnya dengan Wajib Pajak yang ragu-ragu dengan kasus yang dimilikinya. Mereka akan berfikir dua kali untuk mengajukan keberatan karena jika keberatan mereka ditolak maka akan dikenakan sanksi denda 50% dari jumlah pajak yang kurang bayar. Sanksi ini lebih besar daripada sanksi bunga jika jika dikenakan penagihan aktif yaitu maksimal sebesar 48%. Sedangkan dari sisi fiskus, para fiskus akan dengan cermat dan benar-benar melakukan koreksi dalam pemeriksaannya, dan mereka tidak asal menetapkan temuan-temuannya yang tidak berdasar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasal 25 ayat (7) ini menghendaki praktik pemeriksaan pajak kalau bisa selesai selesai di tingkat pemeriksaan saja. Wajib Pajak menerima tagihan pajak, dan melunasinya dan jangan sampai ke keberatan dan banding dengan syarat SKP memang benar-benar sesuai dengan kondisi apa adanya.

Kesimpulannya adalah bahwa pada dasarnya perubahan ketentuan dalam pasal 25 ayat (7) UU KUP mempunyai tujuan yang baik yaitu untuk memberikan keseimbangan hak dan kewajiban diantara wajib pajak dan juga fiskus. Wajib pajak boleh saja mengajukan keberatan tapi dia diharuskan melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikuit sejumlah yang telah disetujui dalam pembahasan akhir dengan pemeriksa. Tetapi di lain pihak seandainya keberatannya ditolak maka sanksi yang berat akan dihadapi oleh wajib pajak. Bagi fiskus penerapan ketentuan baru ini akan mendorong untuk melakukan pemeriksaan dengan cermat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Seandainya proses pemeriksaan dilakukan dengan asal-asalan maka siap-siap saja dikalahkan oleh wajib pajak dalam keberatan. Terkait dengan kemungkinan terganggunya penerimaan negara sebagai akibat dari penangguhan pembayaran pajak yang diajukan keberatannya menurut saya hanyalah masalah penundaan percepatan penerimaan negara saja. Toh jika ternyata keberatan wajib pajak tidak berdasar maka akan kalah sehingga penerimaan negara tetap dapat dihimpun. Dengan mekanisme seperti ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka panjang dan menengah seiring dengan meningkatnya kepatuhan sukarela (voluntarily compliance). Namun yang perlu diwaspadai adalah adanya kemungkinan tunggakan pajak yang semakin besar. Oleh karena itu perlu disiapkan perangkat penagihan (enforcement of collection) pajak yang baik. Langkah pertamanya adalah dengan menyesuaikan ketentuan-ketentuan dalam peraturan penagihan pajak agar sejalan dengan ketentuan dalam UU KUP yang baru ini.

source :hitungpajak[dot]WP.com

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.