Segmen Indah Dikala Embun Mencair


Setelah ibadah wajib menjelang fajar menyingsing tertunaikan, hari ini segar sekali karena semalam tertidur lelap sebelum acara On the spot menyelesaikan 7 seleksi terakhirnya. Mbak fidza yang sudah mengucapkan perjanjian untuk selalu bangun pagi dan merapikan tempat tidurnya demi bingkisan yang dimintanya untuk hadiah ulang tahun yang ke-6 nya juga telah terjaga.

Tentu saja bundanya anak-anak sudah sibuk dengan kompor dan kualinya, rutinitas pagi itu sama dengan hari-hari yang lain. Perbedaannya adalah setelah hal itu hampir terselesaikan semua dan mampu ditangani ammahnya, kugendong si bungsu Indana, kubawa keluar dikala embun hendak mencair. Matahari masih sedikit malu-malu di puncak bukit di depan rumah yang dikelilingi gemerisik suara gesekan daun-daun bambu.

Udara dingin masih menusuk, namun Indana sudah tergelak tawanya oleh lelucon kakak-kakaknya. Hingga pagi itu kubawa mereka bertiga berkeliling lingkungan rumah. Berjalan bersama nyanyian riang mbak fidza sulungku, mengejar kucing-kucing yang berhamburan dari peraduan menyambut pagi itu. Ayam berkokok nyaring dan burung-burung gereja bercicit riuh rendah mengantar rembulan menuju peraduannya.

Berselang beberapa rumah kulihat beberapa mobil terparkir diluar tanpa sarung dan hampir tertutup rata oleh embun yang mencair di banyak bagiannya. Melongok ke dalam garasi pemilik terparkir satu lagi mobil didalamnya. Luar biasa 2 mobil untuk pasangan yang baru memiliki seorang balita dengan garasi yang hanya cukup 1.

Tak juga menganggapnya sebuah keborosan namun dalam skala lebih kecil ini seperti saat ku berbelanja kedalam supermarket dengan list barang yang sudah ditentukan, namun ketika sampai dikasir terkaget dengan banyaknya barang didalam keranjang yang tak ada didalam list. Sama bukan?

Tiba-tiba bungsu ku Indana yang berada di gendongan berteriak kegirangan, didepan sana mbaknya sedang nguyel-nguyel seekor kucing kecil lucu yang perawakannya berbeda dari kucing kampung kebanyakan. Dengan muka mirip kucing angora warna orange dan bulu ekor yang tebal tegak berdiri namun bulu badannya masih mencerminkan kucing kampung. Tebakan ku ini pasti kucing aib, kucing angora milik salah satu tetangga yang diperkosa kucing kampung atau kucing kampung yang rela dipakai short time oleh kucing angora milik tetangga. Yang mengakibatkan anak kucing haram dengan spesies berbeda ini.

Melewati beberapa rumah mengingatkan ribet dan riuwehnya dulu menentukan rumah mana yang harus dibeli, banyak sekali pertimbangan dan banyak sekali kriteria yang tak masuk dalam penilaian pencarian rumah. ‘Rumah diujung itu,’ ucapku kepada istriku tercinta ‘hampir saja tak ambil nda, sayang sekali seribu sayang tanahnya terlalu luas nanti mubazir kalau anak-anak sudah besar dan meninggalkan rumah hanya ditempati kita berdua.’ ‘ah bilang aja duitnya kurang’ imbuh istri tercintaku sambil nyengir kuda. Kami pun tertawa lepas sambil memasukkan udara segar ke sela-sela paru-paru hingga membuat seluruh tubuh terasa segar dan bersemangat.

Melewati rumah terakhir sebelum masuk ke pagar besi rumahku sendiri mampirlah kami ke sebuah warung nasi uduk, sambil bercanda dengan pemilik warung kunikmari gorengan tempe yang masih hangat menggoda, dan secangkir teh manis hangat. Segarnya ditemani anak-anak dan istri melewati pagi, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 belum mandi, belum menyiapkan pakaian kerja dan yang absen tak akan mau kompromi bila telat. Lewat sudah segmen terindah di bagian hari ini, dan hampir lupa bahwa hari ini masih Jum’at.

6 komentar:

  1. Kok sampai bilangin kucingnya haram sih?
    kayak giana g2 kedengarannya...
    semoga harinya bisa lebih indah lagi dari hari itu...

    BalasHapus
  2. @ami : monggo

    @rumah persahabatan : hehehe istilah saja, hasil breeder persilangan 2 jenis berbeda tanpa diharapkan.. hehehe

    BalasHapus
  3. judulnya manis banget...
    membuat saya tertarik utk mmbaca...

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.