Mereka anak kita, bukan batu


"nda, sini biar mbak yg nggosok (menyeterika) baju mbak sendiri. “
“mbak besok sudah masuk SD."

Sulungku bergerak cepat segera memegangi gagang setrika yang sedang dipegang bundanya untuk menghaluskan kain-kain pakaian itu. Bukan hanya bundanya aku pun dibuatnya terperangah, pola berpikir sulungku yang baru menginjak 6 tahun juni tahun ini sudah terbentuk. Harapan yang kami sandangkan dari pola didik kami yg keras dan disiplin mulai terlihat. Dia merasa bertanggung jawab terhadap dirinya dan barang-barang pribadinya. Setidaknya dia merasa bertanggung jawab terhadap pakaian lusuhnya.

Entah harus bangga atau terharu, ketika anak-anak sudah memahami konsep yang kuterapkan didalam rumahku. Bahkan tanpa kusadari mereka memahami konsep itu diusia yg mengejutkanku, padahal kala itu bundanya baru saja bilang, “saat ini saat terbaik untuk menanamkan konsep, kelak kita dan anak-anak kita akan menuai hasilnya.” Namun sedikit demi sedikit hasil itu mulai terlihat.

Setuju sekali ketika beberapa teman dan rekan sesama orang tua menasehati, mendidik anak itu jauhkan dari kekerasan. mendidiklah dengan cinta dan lemah lembut! But how? Mereka akan berkata “setiap rumah tangga memiliki caranya sendiri dalam menerapkannya.” Benar sekali tetapi pertanyaanku but how?

Sedikit banyak type dan karaktaer sepasang orang tua mendidik anaknya tidaklah terlepas dari cara bagaimana dia dibesarkan oleh orang tuanya terdahulu. Jadi apakah itu yang terbaik atau belum yang bisa dilakukan oleh sepasang orang tua, mereka meyakini “beginilah caraku dibesarkan, dan akau akan membesarkan anak-anakku sebagaimana aku dibesarkan.”

Aku sulung dari 3 bersaudara, dibesarkan dalam lingkungan orang tua yg berprofesi sebagai guru. Hal pertama yang kudapat dari pola pikir yang terbentuk melalui cara tumbuh kembangku adalah, orang tuaku harus membuatku dan kedua saudaraku ‘baik’ terlebih dahulu baru mereka akan dianggap seorang guru. Profesi yang mengharuskan mereka menjadi seorang yang patut dicontoh dan ditiru, tidak hanya didalam ruangan kelas namun dalam keseharian mereka.

Konsep tersebut membias dalam sikap pendidikan kepada putra-putranya disiplin, keras dan mengajarkan kemandirian. “anda bertanggung jawab terhadap diri anda sendiri.” Motto yang selalu ditanamkan untuk diingat, dibaca dan diimplementasikan dalam keseharian.

Jadi ketika aku menanamkan disiplin dengan caraku dibesarkan, modal berharga yang harus kuingat adalah mempelajari method-methode terbaik untuk membuat kerasnya disiplin menjadi kelembutan dan kasih sayang. Namun kadang ku merasa gagal ketika penerapan disiplin itu menjadi seperti ku mendidik sebongkah batu gunung. Caraku tidaklah seperti tetesan air yang terus menerus hingga membentuk lubang di batuan tersebut, namun tak lebih seperti gletser yang menggelegar meretakkan batu-batu itu.

Terlalu berlebihan sepertinya tidak, bagi disiplin benturan benturan itu perlu untuk membentuk watak dan karakternya, namun bagi psikologi pertumbuhan kedewasaannya tetesan tetesan air yang terus menerus adalah hal yang paling tepat untuk membuat batuan gunung itu berlubang dengan halus dan sempurna.

***

Sulungku kini telah memasuki jenjang masa sekolah, dia sudah meninggalkan masa pra sekolah yang berarti waktu bermainnya benar benar telah tersunat. Dia harus memahami arti tanggung jawab dan disiplin. Mungkin saat-saat inilah yang kutunggu sekaligus kutakutkan. Karena aku harus mulai jongkok dan berlutut sejajar matanya, mengajaknya berbicara dan menganggapnya teman seperjuanganku tuk merengkuh surga.

Sulungku telah mengajarkan kepadaku bagaimana menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan disiplin karena tanpa ku mulai itu dalam diriku tak pula dia akan menuruti setiap perkataanku.

Besok kuharap kau mulai bisa mencuci pakaianmu sendiri dan membersihkan tempat tidurmu nak! U’ll get reward for what you done last night, I’m proud of you.

sudut cubicle, 11 Juli 2011

8 komentar:

  1. @bhotol : thanx for visiting....

    BalasHapus
  2. Setuju, anak-anak bukan batu. Sebuah konsep yang baik seyogyanya dikenalkan pada mereka, meski hidup kadang sekeras batu...

    BalasHapus
  3. benar sekali mas icang kalau anak itu bukan batu

    BalasHapus
  4. salam kenal mas ichang apa kabarnya?

    BalasHapus
  5. benar sekali mereka adalah anak kita bukan sebagai batu

    BalasHapus
  6. mudah2an aku dapat mengaplikasikan mendidik anak tanpa 'kekerasan' tanpa bentakan

    nice share pak

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.