“Yah, kok ya tega gitu
anaknya nangis ga segera diangkat!” sambil memasang muka cemberut dan
sedikit kesal dia yang ku panggil ‘nda’ melewatiku yang sedang bebaring malas
di depan Televisi. Hanya ku balas dengan senyuman nakal, namun tetap dengan
wajah sendu dan sedikit murung.
Sudah sejak di dalam kendaraan tadi ku bersikap sewajarnya
namun tak jua mampu mengatur otot otot muka ini agar tak menyesuaikan dengan
suasana hati. Hingga terbersit keinginan untuk menggoda ‘nda’ ku di rumah dengan
pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tersimpan rapat di dada.
Telepon berdering nyaring, dengan segera ‘nda’ memberikan HP
ku,
“yah, mas abe ini di
telfon.”
“biarin dulu, udah
lama ga nggoda dia.”, timpalku.
“angkat yah, siapa
tahu penting mau minta darah lagi kan sudah lama ga donor buat istrinya.”
Sambil menarik nafas panjang kuturuti saja permintaan istri,
benar saja kali ini tebakannya. Mas abe minta waktu untuk pengambilan darah
bagi istrinya yang sudah sangat ketergantungan akan transfusi darah karena
kegagalan ginjal sejak dua tahun yang lalu.
Mas abe adalah seorang kenalan yang telah lama menjadi
bagian keluarga, walau kami berbeda keyakinan namun kami memiliki cara pikir
yang sama tentang hidup. Maka tak dibutuhan waktu yang lama bagi kami untuk
semakin dekat dalam hal bertukar pikiran, beda keyakian tak menjadikan kami
saling berlawanan. Hingga kabar sakitnya istri beliau yang tak disangka mengharuskan
ku dan beberapa teman menjadi donor tetap baginya.
+++
Setelah sekitar 30 menit mengantri, akhirnya dipanggil juga.
Kali ini ‘nda’ ikut menemani di ruang tunggu PMI bersama mas abe dan motor
bututnya. Sebenarnya ‘nda’ tahan melihat darah hanya saja ‘nda’ tak tahan
melihat jarum besar masuk di pembuluh nadiku, sergahnya sambil meringis
menyembunyikan pembelaan gombalnya.
“di dalam yang cek
tensi darah dokternya cantik lho ‘nda’.” Pancingku
“emang tuh dokter mau
ama bapak-bapak anak 3?”
Sambil tertawa lepas ku tinggalkan ‘nda’ di ruang tunggu itu
bersama rasa penasaran akan dokter cantik yang ku ceritakan tadi.
+++
Jam 3 sore sebuah sms masuk dengan nama ‘mas abe’ segera
kubuka pesan singkat itu,
“zal, segera ke PMI dokter yang tadi
memeriksamu ingin bertemu. Aku tunggu!” isi pesan itu singkat namun
membutuhkan respon segera. Dan melihat kalimat yang digunakan perintah itu
urgent, namun aku mengindahkan prasangka itu.
Aku hanya berharap dokter cantik yang masih muda itu
memanggilku bukan karena ingin mengenalku lebih dekat atau semacamnya.
Mas abe sudah menunggu ketika kusampai di pelataran PMI,
memandangku sambil terseyum dan segera mengantarku ke dokter muda yang cantik
itu.
“tak usah diantar, aku
udah gede.”
“karena udah gede
makanya butuh kuantar, jangan sampe kamu puber kedua” canda mas abe seperti
berusaha membuatku rilex dan menutupi kabar yang seharusnya kudengar.
+++
“jadi bu dokter sudah
kangen ketemu saya lagi?” si dokter muda yang cantik itu hanya tersenyum.
“bapak ga bareng istri
pak? Tadi pagi saya liat bu menunggu di ruang tunggu?” skak mat, tak bisa lagi
aku menggodanya pikirku dalam hati.
“bapak, ini hasil lab
dari darah bapak tadi pagi, darah bapak sehat hanya saja ada 1 test yang
membuat darah bapak tidak lagi bisa digunakan sebagai pemberi darah bagi
recipient.”
Kulit kepala mulai mengkerut, telapak tanganku tiba-tiba
dingin. Aku mulai faham tujuanku dipanggil lagi kesini, namun aku berusaha tak
menunjukkan perubahan mimik muka sedikit pun. Mas abe disebelahku hanya
tersenyum, semakin lama waktu berdetak benakku semakin dihinggapi rasa was-was,
prasangka prasangka buruk mulai mengelilingi alam pikirku.
“untuk lebih jelasnya
sebaiknya bapak melakukan test darah di laboratorium!”
Lututku masih bergetar, satu yang pasti baru sekarang sebuah
kabar membuatku ingat betapa dekat maut disekitar kita.
Aku berpesan kepada mas abe “mas, kabar ini hanya kita
berdua yang tahu. Jangan istriku tahu!”
Mas abe hanya mengangguk dia berusaha menenangkanku namun
aku tahu dia pun kalut karena berkurang salah satu pendonor tetap untuk
istrinya.
Tak lama kemudian segera kupacu motorku menuju laboratorium
medis yang terpercaya dan rujukan banyak orang. Ku kejar waktu karena hari
mulai gelap, gerimis pun datang menyertai hatiku, mungkin juga agar air mataku
tersamarkan ketika ku masuk loby laboratorium medis itu.
Beberapa cc darahku diambil kembali dan petugas memintaku
menunggu hasilnya 3 hari kemudian.
+++
Kali ini aku menumpahkan kopi buatan ‘nda’ dan aku sengaja
tak membersihkanya, benar saja tak lama berselang dengan muka sedikit cemberut ‘nda’
menghampiriku dan memberikan secarik gombal untuk membersihkan hasil karyaku
tadi.
Namun aku tak beranjak, dia pun kesal dan melap sendiri
tumpahan kopi tersebut. Kali ini aku benar benar berhasil membuatnya kesal, tak
mau lagi dia menatapku ketika malam tiba.
“nda, bagaimana
seandainya ada tugas kantor dan aku harus meninggalkanmu selama 1 bulan?”
“nda, kangen ga
anak-anak dengan ayahnya kalau ditinggal ya?”
“bisa ga nda kekantor
sendiri tanpa ayah yg nyopir?”
Semua pertayaanku haya dijawab dengan desahan, entah karena
kecapaian atau karena kesal terhadapku yang seharian bertingkah manja seperti
anak kecil.
Kuselipkan sebuah amplop berwarna kuning diantara lipatan
lengannya ketika dia hendak tertidur, namun tindakanku sudah terlambat ‘nda’ ku
ternyata sudah terlelap dialam mimpinya.
+++
Kurasakan air hangat ada di pipiku, dan wajah cantik itu
sangat dekat didepanku. Ku yakin sekarang adalah waktusebelum subuh karena matahari dijendela belum keluar
dan suara tilawah dari masjid sebelah pun belum terdengar. Namun ciuman mesra
di kening sudah membuayarkanku dari alam mimpi.
Nda menyodorkan amplop kuning yang sudah terbuka itu, sambil
terisak. Amplop kuning hasil test laboratorium itu membuatnya shock. Aku hanya
tersenyum
“yah, jangan
tinggalkan kami secepat itu, sakit dan sehat adalah kuasa Allah !”
ternyata dia mendengar
semua pertanyaanku semalam.
-januari 2012-
mudah-mudahan diberi kesehatan selalu ya Mas..
BalasHapusamiin
aaaamiin
BalasHapus