Masa-masa sekolah memang masa yang paling indah kata lyric
sebuah lagu. Memang dimasa ini kinerja hormonal didalam tubuh sedang
bergejolak,sehingga tindakan kadang tak lagi berada di jalur nalar dan logika.
Namun tak di pungkiri juga masa ini adalah idmana kita semua merasakan
nikmatnya kebebasan.
Berromantika mengingat masa-masa itu pun masih meninggalkan
desir desir yang tak bisa dilukiskan dalam hati. Tak terkecuali saya pun
begitu, terkadang duduk berdua bersama pasangan diberanda rumah apabila
topiknya adalah masa-masa sekolah gelak tawa akan pecah sedih duka akan sirna
memang romantika masa itu tak terlupakan.
Ada kalanya romantika itu benar benar tak pernah bisa hilang
dari ingatan, seperti saat saya disekap oleh segerombolan ‘preman sekolahan’
didalam toilet hingga bel pulang berdentang. Atau ketika saya di hukum oleh
guru karena hari senin pagi ketika digelar upcara bendera lupa membawa topi
kebanggan sekolah, hukuman itu adalah membersihkan toilet kelas.
Lagi lagi selalu berurusan dengan toilet, toilet toilet
lagi. Namu di toilet kutemukan banyak hal rahasia yang kala itu tak pernah
kudengar atau dibicarakan. Di toilet banyak kudapati keluh kesah, uneg-uneg
atau ganjelan hati yang tak terucap. Baik itu tentang sekolah, tentang guru
killer atau tentang beberapa rekan yang jatuh cinta kepada teman duduknya.
Di toilet banyak kutemui juga makian, makian jorok, makian
sopan dan bahkan di toilet pernah kutemui sepotong puisi 3 bait yang benar
benar mencerminkan seorang siswa yang sedang dimabuk cinta alang kepalang
kepada gurunya sendiri. Begitu jujurnya si toilet hingga yang tak terucap pun
bisa dikondisikan dengan si toilet.
Di toilet pun sering kumendapat pelajaran filsafat, mulai
dari kalimat tenar Descartes “cogito ergo sum” “aku berpikir maka aku ada”
hingga ungkapan pasukan roma ketika mau perang “memento mori” “ingatlah engkau
akan mati!” menggambarkan bahwa belajar filsafat bisa dimulai dari si toilet.
Namun tak bisa dipungkiri si toilet memang membantu setiap orang yang
memasukinya untuk berkata jujur, menuliskan apapun yang terpendam didalam
hatinya di tembok tembok si toilet. Member palajaran kepada siapapun yang
memasukinya tentang makna kejujuran sebenarnya.
Makna kejujuran yang mulai ditinggalkan tatkala rezim baru
PSSI menggusurkan rezim lama yang mengatasnamakan demi bangsa, demi persatuan,
demi profesionalitas dan demi tetek begek lain yang sebenarnya tak ada
kaitannya dengan kejujuran dan pengabdian.
Kejujuran tak lagi dipandang ketika setiap 5 tahun sekali
para pemegang uang menghamburkan modalnya demi fotonya di coret atau dicoblos
di bilik-bilik kecil yang konon kabarnya melambangkan kejujuran. Alangkah lebih
baiknya bilik-bilik kecil itu diletakkan didalam si toilet dan diberikan
pengarahan tentang artikulasi kejujuran yang sebenarnya.
Kemudian pasanganku yang sedari tadi duduk diberanda
disampingku menyuguhkan secangkir kopi anget dibawah rintik hujan. Walau kopi
itu sedikit getir karena mungkin gula yang ada di lemari dapur sudah habis
tetap saja kukatakan bahwa kopi itu manis. Karena itulah kejujuran..!
*bersambung…….
jujur, tidak bohong dan diplomatis
BalasHapus