Bosan Sekolah



Salah satu definisi sekolah menurut kamusku adalah tempat tersanderanya waktu bermain masa kanak-kanak, sayangnya kebanyakan pengajarnya semakin membuatnya membosankan.

***

Lelakiku : yah, aku ga mau sekolah
Aku : kenapa?
Lelakiku : aku ga mau disuruh nulis sama bu guru
Aku : kenapa?
Lelakiku : pokoknya aku ga mau
Aku : okeh.

                Kesibukan pagi yang rutin kulakukan teralhkan oleh laporan pagi lelakiku, dia tidak mau sekolah. Bukan hal yang wajar menurutku, karena rutinitasnya selama ini adalah bila pagi hari mempersiapkan keperluan untuk sekolah. Pagi ini dia mogok, sambil sedikit menahan takut mengungkapkannya isi hatinya. Aku bangga dia bisa terbuka, aku bahagia dia berkata jujur, aku begitu antusias dia mengungkapkan aspirasinya.

                Bagi masa kecilku, keterbukaan adalah barang yang langka diantara didikan super disiplin orang tuaku. Mereka menanamkan kejujuran diatas segalanya, namun mereka lupa arti pentingnya keterbukaan. Kejujuran tak akan terucap bila pendidikan tentang mengungkapkan aspirasi, menyatakan pendapat tidak di asah. Seperti seekor beo yang cerdas dalam meniru namun bisu. Tapi sudahlah, mungkin orang tuaku hanyalah manusia hebat dalam prestasi setidaknya aku mensyukuri itu.

                Kini kekurangan itu ku coba tambal, mas akecilku kujadikan sebagai acuan untuk bagaimana menjadikan kejujuran lebih sempurna dengan dukungan keterbukaan. Lelakiku menunjukkan hasil didikan itu, walau dia menunjukkan contohnya dalam perkara yang tak ingin kudengar dipagi hari ini. Dia mengutarakan keinginannya dengan jujur. “Aku bosan sekolah, titik!”

                Aku yakin lelakiku ini adalah pribadi yang ceria, sekolah yang kupilihkan adalah tempat yang dia pilihd an kupilih dulunya karena banyaknya keceriaan di dalamnya. Namun entah, karena kejaidan beberapa hari lalu dia mencari alasan lain untuk menguatkan keinginannya bosan bersekolah.

                Sepulang sekolah lelakiku bercerita, kepalanya dibenamkan ke tembok oleh seorang teman lelakinya. Barangkali watak turunan dari ibunya, lelakiku jarang sekali membalas apapun yang diperbuat kepadanya, dia hanya diam. Kali ini nasehatku sedikit ekstrim “pukullah jika kau dipukul, hantamlah jika kau dihantam!” mungkin terlalu berlebihan, namun aku hanya ingin mengatakan dunia ini keras nak, “gebuklah dunia, sebelum engkau digebuk!”

                Barangkali dia sedang malas bertemu teman lelakinya, atau mungkin dia enggan membalas pukulannya. Mungkin juga aku terlalu extrim memberinya nasehat, atau memang benar benar dia bosan dengan kurikulum sekolahnya. Yang pasti restuku kuberikan, bermainlah sepuasnya nak! Aku tak membayar sebuah sekolah hanya untuk menyandera waktu bermain anakku dan membuatnya menjadi bosan. Bersekolahlah dengan sepeda bututmu, bersekolahlah dengan mainan bambu buatan kita!

4 komentar:

  1. kasihan anak2..masih kecil udah stress karena beban pelajaran :(

    BalasHapus
  2. bener bu..... kadang pingin tak homeschooling aja, tapi kami juga bekerja

    BalasHapus
  3. Sy juga sering bilang ke anak2, 'bermainlah Nak.. krn kamu tdk akan pernah bisa bermain lg kala usiamu bertambah'

    BalasHapus
  4. iya bener... makin hari makin sulit menemukan pengajar di sekolah yang kualitasnya bagus...

    sering2nya sih muridnya suruh buka buku terus ngerjain soal, pengajarnya duduk manis di meja...

    sesungguhnya saya adalah salah satu orang yang merasakan betapa membosanknnny sekolah itu. enggak sekolah gimana? sekolah juga gimana?

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.