Pemuda Yang Mengintip Kaca Mobilku




“Sungguh salah seorang diantara kamu mencari kayu bakar diikat alalu diangkat diatas punggungnya lalu dijual, itu lebih baik dari pada orang yang meminta-minta kepada orang lain , diberi atau ditolak.”(HR Bukhori)

Sore itu tak seperti biasanya, rute pulang kantor kami memutar. Sepertinya pengerjaan jalandi ruas jalan propinsi yang biasa kami lewati belum juga terlihat hasil akhirnya. Alat berat masih berserakan di pinggir jalan, entah sebagai bentuk protes atau memang seperti itulah cara kerjanya. Proyek yang berjalan di negara republik ini begitu lambatnya, ditambah lagi spek yang selalu dibawah nilai kontrak. Ah itu sudah menjadi rahasia umum tak perlu ada yang merasa tertampol.

Lambatnya jalan kendaraanku seirama dengan lalu lalang pejalan kaki yang juga nampak semakin menghilang bersamaan dengan mulai jatuhnya air dari langit. Sedikit demi sedikit semakin berat dan basah.

Masyarakat kota kami menyebutnya ‘Bunderan Gajah’, sebuah taman kecil di tengah kota tempat pejabat terdahulu meletakkan sebuah piagam adipura yang pernah disandang kota ini. Dulu, dulu sekali hingga piagam itu kini tampak lusuh selusuh sudut-sudut kota ini yang mulai melupakan makna piagam itu.

               Kini kendaraanku membawa kami melewati salah satu spot yang menjadi ikon kota ini, menunggu detik berkedip dari guliran lampu marka jalan.beringsut di setap sela sela kendaraan itu para pedagang asongan, penjaja koran, anak jalanan hingga sebuah pemandangan menghampiriku. Pemandangan yang biasanya menghampiriku di pagi hari, menghampiriku di lampu pemberhentian jalan di sisi yang berbeda tapi tdiak di pagi hari. Dengan penampakan yang jauh berbeda dari yang biasa kulihat.

Aku tak mengenal namanya, pemuda bertubuh tegap dengan wajah terlihat termakan debu jalanan, rambut kusut namun masih berbentuk mirip Keanu Reeves. Dia memiliki rahang yang membuat wajahnya terlihat kekar, suaranya ramah namun sangat maskulin, berumur sekitar dua puluhan.

Berulang kali aku menyapanya di pagi hari saat membeli koran di di lampu merah sisi satunya. Berpakaian lusuh bahkan hanya bercelana pendek, tampang lebih lusuh dari saat dia menghampiriku di sore ini. Lebih hebatnya di sore ini dia berpakaian rapi, layaknya seorang bujang hendak datang apel ke rumah pacar ayu nya.

Sore itu dia yang menghampiriku menyapa dengan wajah sumringah rapi bersih dan membawa sebuah ukulele. Kali ini dia menyanyikan lagu baru dari band yangs ednag digandrungi anak muda kebanyakan. Menawarkan suara sumbangnya yang lugu demi receh entah untuk apa. Aku pun tak memperdulikannya, sebab tak ada alasan kuat bagiku untuk menanyakannya.

              Tampak di mataku dia pekerja keras, demi sesuap nasi. Tak kutahu juga latar belakangnya, apakah dia memiliki riwayat bersekolah ataukah dia anak jalanan yang tak memiliki rumah. Apakah anak akibat broken home yang meninggalkan rumah, ataukah bagian dari sindikat anak jalanan dan gepeng. Aku tak tahu pun aku tak ingin tahu, yang aku tahu dia mencari nafkah demia dirinya setidaknya atau mungkin dia menanggung orang lain yang juga tak ingin ku ketahui.

Yang aku tahu dia tak memiliki kaki dan berjalan dengan dua buah tongkat kayu. Dan pemandangan itu cukup membuatku malu betapa kasihannya orang-orang yang dikaruniai raga yang sempurna namun menengadahkan tangannya tuk meminta kepada selainNYA.

2 komentar:

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.