kalaupun tidak bisa menjadi salah satu bagian part sebuah sepeda yang
melaju kencang, setidaknya menjadi pelumasnya agar tidak terjadi keausan adalah
bentuk sumbangsih terkecilnya.
Setiap kali berkendara ke kantor berdua dengan istri saya selalu
menikmati momen-momen itu. Momen yang hanya kita berdua tanpa khawatir ada yang
menimpali atau mengalihkan fokus pembicaraan, biasanya sih si bungsu yang
paling aktif minta perhatian.
Maka kenapa di dalam kendaraan ketika berdua menuju atau pulang kantor
adalah jeda yang tepat membicarakan masalah yang sedikit serius walaupun hanya
sekitar tiga puluh menit. Tiga puluh menit berarti saat waktu dimampatkan
bersama ide-ide brilian yang sebagian besar mungkin terhenti ketika pintu kabin
ditutup rapat.
PKS sedang
melejit sekarang, walau melejitnya dengan bantuan media, walau melejitnya
dengan bantuan tokoh, walaupun melejitnya dengan berita agak ‘miring’. Yang pasti
Endonesia raya sedang disibukkan denga berita PKS yang sedang melejit. Mengesampingkan
banjir kanal di Jakarta, membawa pergi si penyuka janda ke balik jeruji,
mendinginkan lagi kisruh berkepanjangan antara pemilik Bola bulat dan pembawa
bola tak berbentuk.
Topiknya berat
kali ini, untuk dibawa ke sebuah acara semacam Mata najwa dalam tiga puluh
menit tak akan kelar rasanya. Membicarakan politik itu sama saja dengan
membicarakan ketidak pastian, membicarakan warna putih diantara pelangi,
membicarakan siapa yang kentut diantara kerumunan pasar. Politik itu makanan
sampingan namun dengan harga sangat mahal, seperti kalau kita ke pasar malam
beli kembang gula namun dengan harga steik bintang lima tuk menebusnya.
Endonesia
sekarang hanya memiliki sepuluh partai, partai besar atau partai kecil. Yang berisi
orang militan atau hanya kayak kutu loncat, yang memiliki visi besar atau hanya
visi uang besar, yang luntur warnanya atau yang melekat warnanya, yang ingin
berkuasa atau yang merakyat. Hanya sepuluh setidaknya lembar pencoblosan tak
akan sebesar beberapa tahun yang lalu, setidaknya meja bilik pencoblosan tak
perlu dibesarkan seukuran toilet umum kali.
Dari sepuluh
kontestan itu satu kontestan sedang ditempeli kutu di ketiaknya, menggaruk
lunglai gatal tidak tapi ingin menggaruk. Berkibar setengah tiang, dengan
bendera yang tak terlalu besar namun tiangnya menghunjam jauh di dalam tanah, mungkin
saja tiang besi itu sudah mengakar urat didalamnya.
Istriku bertanya,
“tanpa sepengetahuanku apakah engkau sudah jadi bagian salah satu kontestan
itu?”
Istriku tahu
kalau semenjak jaman baheula aku tak pernah tertarik berhubungan dengan partai
manapun, baik yang mengatasnamakan pancasila, mengatasnamakan rakyat, mengatasnamakan
nasionalisme, bahkan terang-terangan mengatasnamakan uang. Lebih lagi yang
mengatasnamakan islam, tidak aku tertarik mendekatinya kecuali bila memang ada
pembagian kaos, atau makan siang gratis, atau bila mungkin aku sering
mendatangi pengajian-pengajian yang diadakan banyak dari mereka. Seluruh lubang
inderaku menerima apapun yg mereka masukkan kecuali dengan otomatis tertutup
rapat bila itu mengandung unsur politiknya, tapi aku tak sendiri banyak di alam
nyata sana yang melakukan sama dengan yang kulakukan. Kemudian mereka yang di
dalam lingkaran politik itu menyebut kami sebagai simpatisan.
Warga masyarakat
yang tak antipati terhadap perjuangan mereka, rakyat yang masih menaruh
kepercayaan kepada mereka, bagian sendi bangsa yang masih bersimpati atas jerih
payah mereka membuat bangsa ini menjadi lebih baik. Lebih baik, bukan merasa
lebih baik namun semakin buruk.
Kamilah pelumas
itu, yang membuat keausan di tiap bagian bangsa ini tak menjadi aus sebelum
waktunya. Apabila anda yang diatas sana adalah spare part sebuah sepeda yang
harus bergerak kencang menuju garis finish, maka kami yang akan melumaskan
setiap gesekan yang ada. Kamilah pelumas yang berwarna hitam itu, kami semakin
pekat bila kami mampu bergabung dan membuat setiap gerakan anda menjadi lebih
mudah.
Mungkin kami bukanlah bagian penting dari sepeda itu, tapi tanpa kami lambat laun sendi sendi perjuangan anda akan berkarat, membuat gerakan akan semakin berat, hingga pada akhirnya perjuangan ini akan sekarat.
aku jg bukan simpatisan pekahes, bukan pula pembenci nya.
BalasHapusbiasa aja.
tulisan yg bagus mas ichank.
knp kok ga nongkrong di wa lagi?
hehe....makasih omsqu.
BalasHapuscaranya amsuk di WA lagi gimana? kan nunggu diinvite ya?
waw bner2 mnyukai goess ya
BalasHapusbersepeda memang seruu
BalasHapusmantab om bersepeda itu... badan seger, kaki njarem..hehe @-)
BalasHapus