Cetakan Generasi



[Kids] don't remember what you try to teach them. They remember what you are.”  - Jim Henson -

“Sering kujawab ‘karena cetakannya sudah begitu’, ketika beberapa orang bertanya ‘anakmu mirip emaknya ya?’”

Sekonyong-konyong jawaban itu adalah patokan dasar bagaimana setiap orang tua mendidik generasi penerusnya, ‘cetakan’ yang memang sudah disertakan dalam kehidupan orang tuanya menjadi bingkai dalam mendidik dan membesarkan generasi penerus. Dalam hal ini mari membatasinya hanya dalam hal education.

Maka hikayat berpetuah bahwa ‘Buah Jatuh tak jauh dari pohonnya’, tidak mutlak demikian namun cenderung akan mengulang hal yang tak jauh berbeda dari sebelumnya. Bila ‘distorsi’ diabaikan buah akan cenderung hidup dibawah bayang bayang pohon induknya, bila ada yang memungkiri maka anggaplah itu sebuah ‘distorsi’.


“Hayo nak, berdiri didepan! Ambil salah satu kursi itu dan diangkat!” kalimat khas dari guru ngaji ku waktu kecil dulu, dan kalimat lumrah yang paling sering ku dengar saat jam-jam ngaji antara maghrib dan isya’.
Kami memanggil beliau dengan sebutan Abah Nasir, seluruh rambutnya memutih keperakan bukan karena disemir namun memang usianya yang semakin sepuh. Kacamata tebal dan lebarnya selalu menghias diantara kedua bola matanya, senyumnya sangat berwibawa walau gigi-gigi beliau tak lagi terlihat di rongga mulut.

Ilmunya sudah tak diragukan, di lingkungan para pengkaji beliau dikenal sebagai ahli tafsir tempat rujukan para pencari ilmu, bahasa Arabnya jangan ditanya ilmu nahwu sharafnya ngelotok. Namun beliau tetap setia sebagai guru ngaji anak anak dikampungku, beliau tak pernah beranjak setiap kali ditawari berbagai jabatan penting.

Seperti malam-malam sebelumnya, ketika tulisan arabku kembali salah Abah Nasir memeirntahkanku maju ke depan mengangkat sebuah kursi ngaji kecil dan siap diolok oleh teman yang lain. Malam berikutnya hal sama berulang ketika abah nasir memberi pelajaran tentang tafsir tak mampu aku menjabarkan dan sebuah kapur tulis kecil melayang mengenai dahi.

Rasanya tak pernah aku terlewat mendapat hukuman karena kebebalanku, selalu ku merasa ingin berhenti saja mengaji karena selalu dihukum. Namun setiap kali kealpaanku tidak menghadiri kajian setiap kali itu pula abah nasir mencariku hingga kerumah.

Setiap kali ku merasa jengah dengan hukuman sepanjang itu pula ku diundang kerumahnya untuk membersamainya membersihkan tumpukan kitab didalam rumahnya. Sejak itu aku merasa menjadi santri kesayangannya, bukan karena banyaknya hukuman yang kuterima namun karena ku menyadari cara mendidiknya membuatku selalu berpikir ‘hukuman itu ternyata  adalah bentuk kasih sayang dan pengharapannya yang besar terhadapku’.


Dalam alur sebuah pendidikan, pengajar berperan sebagai fasilitator dan santri atau murid adalah sebagai subjek didikan bukan objek pendidikan. Ketika alur ini sudah berjalan pada relnya tak akan ada lagi istilah murid bodoh atau santri ndableg yang ada adalah pengajar yang tak bisa mentransfer ilmunya.

Hukuman adalah alat bagi pendidikan untuk mentransfer pemahaman dalam hal ini adalah sebagai kendaraan yang ditumpangi ‘ilmu’ agar berjalan mulus kedalam kisi-kisi pemikiran sang santri atau murid.

Hakekat Abah Nasir menghukumku adalah untuk ‘melecut’ pikiranku agar terbuka dan bisa menerima ilmu, dan ketika pikiranku terbuka beliau ‘memaksaku’ tuk membersihkan debu diantara kitab kitabnya didalam rumahnya khusus untukku.

Ini barangkali ‘cetakan’ yang dibuat oleh Abah Nasir, agar aku memiliki program baku dalam mendidik, terutama mendidik anak-anakku. 

2 komentar:

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.