Bersama Mereka Berbagi

Pada tirai malam kejujuran itu tersingkap, ketulusan terlihat jelas, dan ketiadaan begitu terang. Ketika setiap manusia telah kembali keperaduan dan melepas lelah diatas ranjang ranjang empuk mereka. Pada rembulan dan gemintang sebagiannya mengadu. Meminta terang cahayanya untuk mengisi malam dan menghangatkannya disela-sela lapar. Jika bukan karena himpitan perut, tidaklah mereka akan terjaga hingga mendahului fajar.

Marjinal itu berselimutkan selembar plastik, beralaskan emperan toko dan mengganjal lehernya dengan trotoar. Namun kali ini aku tak sendiri, segelintir muda-mudi yang menamakan diri pejuang berbagi nasi menemaniku, lebih tepatnya diriku yang ditemani mereka. Mereka berbicara bahasa lapar yang membuat ku tak begitu faham pada awalnya. Mereka mengatasnamakan kebersamaan ketika semakin banyak kawan yang meninggalkanku, mereka merangkulku bersama dingin malam.

Diantara megahnya tata ruang kota ini tersembunyi tata laku yang mulai ditinggalkan dimana malu adalah pakaiannya, setingkat lebih tinggi dari pakaian lapar. Namun tata laku ini tak berlaku bagi marjinal kota yang menggadaikan pakain maunya lebih lebih menjual pakaian laparnya. Aku bicara tentang orang tua yang dengan pongahnya duduk di bawah baliho besar mendinginkan kepala, sednagkan putra-putri kecilnya menengadahkan tangan memanggil setiap pemilik kendaraan tidak lagi demi rasa lapar namun hanya sebagai mata pencaharian. Malu… jangan tanyakan pakaian kebesaran satu itu. Mungkin telah hilang entah dimana.

Namun hal tersebut tak pernah ditemui di malam hari, di suasan kota yang hiruk pikuk bahkan di kelengangan dingin malam. Masih terdapat marjinal-marjinal yang tak menanggalkan pakaian malunya. Mencari sesuap nasi tanpa harus meminta kepada sesamanya mereka mengerahkan segenap tenaga untuk menghidupi keluarganya. Bahkan di malam itu mereka sanggup menempuh berpuluh puluh kilo hanya untuk sampai kekota dan mengasi rezeki dari sampah sampah kota yang ditinggalkan oleh penghuninya.

Sebungkus nasi untuk para pekerja malam ini tidaklah seberapa bagi kita, namun rasa yang ditinggalkan ketika tangan tangan itu menerima sebungkus nasi itu adalah penyejuk bagi hati. Senyum yang terlontar dan ucapan terima kasih adalah pelangi bagi hitamnya malam. Duduk bersandar bersama mereka menemani makan malam mereka adalah obat bagi hati hati yang keras. Namun terkadang manusia terlalu sungkan untuk menundukkan hatinya, kadang rasa malas juga terlalu hebat menggerogoti. Mengeraslah hati, berkuranglah simpati dan hilanglah nurani.

Muda-mudi ini mengajariku bagaimana berakhlak budi, menerimaku dengan lapang hati. Aku hanya ingin seperti mereka yang seperti tak memiliki sedih, mencintai sesamanya tanpa banyak pamrih. Aku ingin membersamai mereka yang bersuka cita, mengganjal setiap lapar dan menghilangkan derita sesama.

Jika tiba waktuku, aku ingin tidur bersama mereka walau sebenarnya tempat tidurku dan tempat tidur mereka sama saja… tanah.

Aku ingin duduk bersama mereka, membersamai hari berbicara dengan mereka dengan bahasa yang sama… bahasa lapar.

Aku ingin dikumpulkan bersama mereka, bersama derita mereka, walau sebenarnya kelak tempat berkumpul kita sama… makhsyar.

Aku ingin menjelajah malam bersama mereka, mengisi malam yang dingin dengan kehangatan yang sama… kehangatan berbagi nasi.

4 komentar:

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.