Kenapa Saya harus Menulis

fatearth.blogspot.com

Dulu jaman saya SD membaca adalah list yang ga ada dalam kegiatan harian, apalagi menulis. Kerjanya tiap hari hanya bermain dan sesekali mengaji di madrasah deket rumah. Hingga suatu ketika ibu membawakan saya beberapa buku bacaan dari perpustakaan yang ada di tempatnya mengajar. Mungkin maksud ibu adalah menumbuhkan minatku terhadap buku, dan itu berhasil. Strategi ibu pada awalnya adalah membawakan buku-buku cerita yang menyenangkan yang banyak gambar didalamnya, semakin lama buku-buku yang dibawakan semakin berat dan tebal. Namun anehnya saya malah semakin teratrik dan tak pernah bosan.

Hingga perbendaharaan buku-buku di perpustakaan ibu habis saya lahap semuanya, saat itulah kehausan akan membaca semakin menjadi. Ketika tak ada lagi buku tersedia oleh ibu, membuat saya mencari cara untuk mendapatkan bacaan. Mulai dari pinjam teman, ke persewaan buku hingga menabung uang jajan untuk membeli buku sendiri. Hingga akhirnya semakin bertambah waktu buku-buku yang say abaca semakin beragam. Yang dulunya didominasi hanya cerita anak-anak dan dongeng, semakin hari komik, majalah, Koran, novel, biografi, kitab agama islam habis  saya lahap.

Namun setelah sekian banyak buku saya baca keinginan menulis itu belum ada, atau bahkan tak pernah terfikirkan bahwa membaca akan menggiringku untuk mulai menulis. Semua dimulai ketika kakak sepupu perempuan yang memang tinggal bersama di rumah nenek dengan saya hobi menulis segala sesuatunya di sebuah buku yang kemudian saya tahu namanya adalah diary. Saya pun mengikuti kebiasaannya itu, setiap malam menuliskan apa yang terjadi sepanjang hari dalam sebuah curhatan di dalam diary.

Waktu itu bahkan saya tak faham apa tujuannya dan kenapa harus menulis diary. Yang sayatahu adalah ketika menuliskan sesuatu di dalam diary ada perasaan gembira, ada beban yang terangkat ketika semua yang ada di pikiran dan hati keluar dalam bentuk tulisan. Seperti ketika saya berteriak lantang di pantai yang sepi setelah dimarahi oleh bapak. Tak urung dalam 3 tahun saya sudah memiliki 4 buku diary yang semuanya penuh oleh tumpahan perasaan itu. Kalau dipikir sekarang, ketika menulis diary dimalam hari sebelum tidur itu saya begitu feminim bagaimana tidak gurunya juga seorang wanita.

Kini ada banyak hal yang menjadi dasar kenapa saya harus menulis. Saya tidak lagi menggunakan kata ‘ingin’ untuk menulis, karena sekarang bagi saya menulis adalah sebuah keharusan. ‘Saya ingin minum karena saya haus’, ‘ saya harus minum supaya saya sehat’. Dua kalimat yang mengindikasikan perbedaan mendasar antara keinginan menulis dan keharusan menulis. Menulis yang dilandasi keinginan akan menghasilkan kekecewaan. Walau saya sendiri sebagai manusia biasa tak bisa memungkiri teori Abraham Maslow tentang Hierarchy Of Need yang salah satunya menyebutkan bahwa tingkatan tertinggi manusia tentang pemenuhan kebutuhannya adalah kebutuhan akan pengakuan.

Tak bisa dipungkiri memang hati kecil selalu menginginkan hal itu, apabila saya menulis saya ingin menulis yang baik sehingga tulisan saya diakui dan saya akan dianggap penulis yang bagus. Ada rasa bahagia tersendiri ketika pengakuan itu benar benar dilakukan. Baik dalam bentuk imbalan, penghargaan ataupun hanya sebatas pujian. Itulah yang kemudian menjadi jelmaan dari menulis dengan dilandasi oleh keinginan. Walau tak semua kita menyadarinya, bahkan bisa jadi banyak dari kita justru menampiknya.

Jadi kenapa saya harus menulis?

Beberapa hari yang lalu, saya dan istri berdua nonton film lama di theater rumah. Sebuah film produksi Canada yang mengambil latar Palestina namun menggunakan bahasa Perancis. Film ini mengisahkan seorang ibu yang memberikan warisan kepada 2 anak kembarnya berupa 2 buah amplop. Amplop satu diberikan kepada anak perempuannya dengan isi surat si anak harus menemukan ayah kandungnya, tentu saja si anak perempuan langsung kaget sebab sepanjang hidupnya yang dia ketahui adalah ayah kandungnya telah meninggal dunia.

Amplop yang satunya lagi diserahkan kepada anak lelakinya dengan wasiat, si anak harus menemukan saudara lelakinya, yang barang tentu membuat si anak kaget sebab sepanjang hidupnya dia tak pernah diberitahu bahwa dia memiliki saudara lelaki. Cerita menjadi menarik ketika film ini menceritakan perjalanan mencari masa lalu ibunya ini. Si kembar yang tak tahu menahu asal usul dirinya mempelajari masa lalu ibunya untuk mengetahui latar belakang kehidupannya.

Wasiat yang dituliskan terlambat, itulah salah satu inti yang bisa saya ambil dari film ini. Bagi saya jangan sampai itu terjadi, saya harus menulis wasiat wasiat saya sejak dini karena saya ga tahu kapan masa kontrak raga saya ini habis. Saya ingin meninggalkan cerita bagi anak cucu saya, saya ingin mereka tahu seperti apa bapak nya dahulu, melalui cerita, melalui tulisan, melalui gambar dan lain-lainnya. Maka keharusan bagi saya untuk menulis agar anak cucu saya dapat mengambil pelajaran dari kehidupan saya. Maka itulah sebabnya menulis untuk sebuah keharusan itu tak akan lekang waktu, tak butuh peng-akuan, tak butuh penghargaan. Menulis karena keharusan itu semangatnya adalah anak cucu saya, walau tanggung jawabnya juga besar, yaitu saya harus menjadikan anak cucu saya jadi kutu buku. Tak mengapa agar mereka faham bahwa menulis itu adalah mengguratkan namanya di jendela sejarah.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.