Orang Yang bertepuk Tangan Di Pinggir Jalan


Dua kegemaranku dalam cabang olah raga terwakili dalam sepakbola/futsal dan badminton, tak dapat dielakkan ketika ada bola dan ada 2 tim yang sedang bertanding kaki rasanya gatal bila tak ikut berlari dan menendang. Sepertinya sudah terlahir dengan bakat olahraga ini, namun juga inilah warisan dari kakek yang dulunya memang pemain sepakbola walau tak sampai karirnya hingga professional. Namun setidaknya di kampung halamannya namanya masyhur karena kemampuan gocekan bolanya.

Berangsur dewasa bakat olahraga ini tak mendapat restu dari ibunda, ibu khawatir anak-anaknya akan mengikuti jejak sang kakek. Di masa itu pemain sepakbola bukanlah profesi  prestisius yang dapat menghasilkan pundi pundi uang. Di jaman itu speakbola hanyalah sebatas hobi, iseng bukanlah cita-cita anak-anak jaman sekarang. Dimana sepakbola telah menghasilkan figur figur hebat dengan pribadi yang bermacam macam jenisnya namun satu yang pasti sepakbola jaman ini telah mampu menghasilkan uang yang banyak, yang tak diprediksi oleh orang tuaku dulu.

Posisiku adalah striker, tapi tak seperti kebanyakan striker diriku tak memiliki kecepatan bahkan tendanganku tak tergolong keras. Namun entah mengapa ditiap tim yang pernah kuikuti pelatih selalu memainkanku dengan alasan jarang striker dengan typical tak egois. Jarang striker dengan intuisi mengumpan dan membagi bola, sejatinya diriku dulu adalah memang midfielder. Namun karena stamina yang tak mendukung pelatih pelatih terdahulu mendorongku sebagai second striker saja, dan berhasil aku menemukan kenyamanan di posisi itu.

Menjadi pembagi bola bagi rekan yang lain, menjadi tembok bagi kebuntuan serangan, walau tak jarang manfaat dari pembagi itu juga kembali pada diriku sering pula ku mencetak goal. Namun sangat lebih sering diriku menjadi pengassist bagi rekan rekan yang lain. Entah darimana perasaan itu hadir, ketika berhasil memberikan assist bagi rekan ada rasa bahagia. Walau bukan diriku yang mencetak goal setidaknya dari jerih payahku juga goal itu tercipta.

Dan begitulah waktu berlalu, sepakbola hanya sebagai hobi dan sarana menjaga tubuh agar tetap fit. Setidaknya apabila setiap minggu aku bertemu minimal dua puluh dua orang kiranya silaturahmi akan semakin terjaga dan bahkan semakin luas. Sisi positif dari sepakbola dimana olahraga ini membutuhkan banyak orang agar terlaksana.

Semenjak umur semakin bertambah, bertambah pula keluhan-keluhan yang kudapat selepas bermain salah satu olahraga berat ini. Sepakbola memang membutuhkan extra stamina, 90 menit berlari dan focus bukanlah hal yang gampang, membutuhkan endurance yang luar biasa juga dan diumurku yang sudah melewati 30 kemampuan itu semakin surut, walau sebenarnya semangat untuk berolahraga masih tinggi.

Badminton mungkin salah satu jawaban yang bisa kuambil, olahraga ini pernah hamper menjadi hobiku dulu kalau seandainya lapangan badminton disamping rumah tak dirubuhkan oleh tetangga untuk lahan parkirnya. Apa yang bsia kuperbuat lah lapangan itu juga ada karena kemurahan hati sang tetangga yang mengijinkan lahan kosongnya untuk kami bermain badminton. Saat lahan itu dibutuhkan kami pun harus dengan terpaksa mengikhlaskannya.

Diusia yang semakin bertambah ini bahkan untuk bermain badminton secara single sudah tak mampu lagi, jadi bermain double adalah cara terbaik untuk menguras keringat dan tetap menjaga nafas lancar keluar masuk ke paru-paru. Bermain double tentus aja berbeda dengan bermain single, jika dalam single smash tak perlu keras dan cukup terarah maka di double smash harus keras atau smash dijadikan senjata pamungkas setelah bermain taktik mengacaukan pergerakan lawan.

Dalam single kita bermain menggunakan lebar dan panjang lapangan, sedangkan dalam double kita bermain taktik untuk membuat tim lawan kacau baik dalam pergerakan ataupun dalam pengembalian bola. Sehingga dalam tim double kita harus pandai membaca situasi dan pandai membaca arah permainan yang diinginkan patner kita.

Tapi satu yang menjadi kelemahanku adalah smash yang tak terlalu keras, namun memiliki penempatan bola drop shot yang baik. Jadilah seperti di sepakbola bahkan dalam permainan badminton pun tetap menjadi pengumpan bagi patnerku. Dengan bola dropshot yang mematikan, meskipun shuttlecock dapat terjangkau setidaknya bola pengembalian akan memudahkan patner untuk mematikan bola pengembalian tersebut. Begitulah tugasku, tanpa smash yang keras sejatinya dengan bola bola dropshot yang mematikan menjadikan ku pengumpan sejati bagi patner.

Sepertinya menjadi pengumpan atau tembok bagi patner tim sudah menjadi bakat lahirku. Dalam posisi apapun dalam kegiatan apapun tak pernah diriku menjadi tokoh yang menonjol, menjadi protagonist atau menjadi pahlawannya. Karakter nyaman sebagai pendukung, back up atau seseorang yang bertepuk tangan bagi keberhasilan orang lain telah melekat dalam diriku. Ini bukanlah hal yang tak kusyukuri, kenyataan ini mengajarkan banyak hal. Menjadikanku pribadi yang dapat bekerjsa bersama tim, apabila kupaksakan diriku untuk keluar dari zona ini bisa jadi menjerumuskanku kepada hal-hal yang tak kuinginkan.

Menjadi pribadi yang berbeda bukanlah tujuanku sejak awal, meskipun kepopuleran tak akan mendekati orang orang dibalik layar namun rasa puas dan bahagia menjadi pendukung sebuah keberhasilan itu sangatlah nikmat. Toh bila dipikir tak akan ada pahlawan tanpa ada orang orang yang bertepuk tangan di pinggir jalan, tak aka nada striker haus goal tanpa ada pengumpan, tak akan ada tokoh protagonist tanpa tokoh figuran.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.