Karena program pembantu saya lagi ada masalah, dan master
softwarenya belum ditemukan, maka menulis mungkin bisa menjadi kegiatan untuk
mengisi waktu sambil menunggu jam kantor usai. Kemarin adalah Mayday bertepatan
dengan hari kamis, sudah 2 tahun ini Mayday ditetapkan menjadi hari libur
nasional yang untuk tahun ini mengakibatkan terjadi juga libur bayangan yang
lebih ngetrend di sebut harpitnas atau hari kecepit Nasional.
Sepertinya bukan hanya di kantor ini yang memperingati
harpitnas mungkin di beberapa atau bahkan banyak kantor di instansi pemerintah
atau non pemerintah juga memperingatinya. Dengan tanpa alasan atau dengan ijin
yang dibuat mendekati kebenaran. Libur bayangan ini sudah mendarah daging
hingga pada kesempatan yang lalu 3 menteri membuat keputusan bersama untuk
menetapkan libur bayngan di hari kesepit nasional menjadi legal dan sah yang
tentu saja membuat gembira para pegawai. Bulan ini akan terjadi 3 kali
harpitnas dan sepertinya SKB 3 menteri tak lagi keluar.
Cukup ‘ngerasani’ pemerintahannya, capek ujung-ujungnya ‘rasanannya’
malah jadi kenyataan nanti. Selanjutnya bercerita tentang pengalaman menuju
daerah terpencil yang ada di seberang lautan, di pulau sebesi yang kabarnya
disana masih terdapat banyak hewan hutan yang masih luar. Bersama para rekan
kantor bulog (bujangan lokal) yang terpisah jauh dari keluarganya namun di
harpitnas ini mereka tak kuasa untuk mengahamburkan uang untuk membeli tiket
kebahagiaan ke haribaan keluarga.
Sejatinya kami diundang oleh seorang mantan coast guard yang
bertahun tahun pernah tinggal disana menjaga perbatasan laut di pulau yang
berhadapan langsung dengan samudera Hindia itu. Bapak patut namanya,
perawakannya tinggi besar hitam mengkilat, tawanya membahana namun bicaranya
sopan dan halus, penuh senyum dan suka bercanda ria. Begitulah penampilan dan
pembawaannya yang kemudian sangatlah klop dengan apa yang diceritakan penduduk
setempat akan dirinya.
Bersama sebuah perahu tradisional pengangkut bertenaga
diesel, kami dibawa menuju satu-satunya kampung penduduk yang ada di pulau
sebesi tersebut, yang hanya berjarak 1 jam perjalanan laut dari gunung anak Krakatau
yang menjulang gagah laksana mercusuar raksasa bagi para pelaut samudera. Kami disambut
bak orang penting, telah disiapkan jamuan sebuah meja panjang lengkap dengan
sekitar dua puluhan kursi tepat dibawah pohon rindang dan sebuah gubug mungil.
Pisang rebus, kopi panas, the panas, air kelapa muda, kacang
rebus rasanya nikmat sekali melewati tenggorokan diantara terik matahari yang
mulai meninggi. Dibawah rindangnya pepohonan sebagian dari kami tak membutuhkan
waktu lama untuk segera tertidur, tak perlu ruang mewah karena disekitar pantai
itu berserakan kapal kapal penduduk yang tertambat rapi yang bisa untuk tempat
tidur yang nyaman. Tak perlu AC karena sepoi angin laut ini benar benar
melenakan, tak perlu bantal guling karena balai balai di sepanjang pantai ini
sangatlah nikmat untuk memejamkan mata.
Aku, obrolan sudah mengelilingi pulau kecil ini walau kaki
belum menjejakkan bahkan seper seratus dari luas pulau ini. Namun cerita yang
keluar dari obrolan dengan coast guard yang bertugas, pak lurah, anak-anak
kecil, para pemuda tanggung ini sudah menceritakan segalanya akan pulau indah
ini. Bertemu dengan seorang guru yang telah bertugas di pulau ini selama kurang
lebih 5 tahun sedangkan keluarganya ada di pulau jawa tepatnya di propinsi jawa
tengah mengingatkanku akan perjuangan orang tuaku dulu yang juga memiliki
profesi yang sama, guru. Bercerita tentang keluarga, bercerita tentang
kerinduannya akan kampung halamannya, membuatku
terbawa pilu. Mungkin dia hanya sedang ingin di dengar, mungkin juga dia
merasa diriku adalah makhluk birokrat yang mampu mengubah kehidupannya menjadi
lebih baik. Setidaknya dapat bekumpul lagi dengan keluarganya. Birokrat?? Itu hanya
semacam gumpalan laos yang dikira daging dalam masakan.
Senja datang bersama sekumpulan uca, kepiting yang mulai
keluar dari lubang lubang persembunyiannya kala laut semakin surut. Kapal kapal
tradisional yang tadinya terlihat begitu jauh di tengah laut menjadi sangat
mudah dijangkau dan menjadi tempat anak-anak berlompatan, ceria dengan dunia
mereka.
Waktu telah tiba bagi kami untuk meninggalkan pulau ini,
kesan mendalam terbawa sepanjang perjalanan. Dimana sambutan ramah penduduknya,
dari warga biasa hingga lurah, dari anak-anak hingga para tetua yang menemani
kami bersantai. Kerongkongan kami begitu segar oleh air kelapanya, perut telah
penuh oleh ikan bakar dan olesan sambal khas pulaunya, hari kami telah tergurat
oleh senyum ketulusan dan sambutan hangatnya.
mungkin aku akan kembali suatu saat, untuk berkunjung kembali
karena cinta pertama ini…
Yah mas.... Fotonya ditambah donggggg... Aku penasaran... hehehehe... Lagi senang banget menjelajah Indonesia ini. Jadi selalu semangat kalau ada yang nulis tentang travelling keliling Indonesia...
BalasHapusSalam rindu
Akhirnya membuat postingan baru di blogku.
Main-main ya...
http://moody-ninneta.blogspot.com/2014/05/to-judge-or-not-to-judge.html
-Ninneta-