Entah bagaimana aku mengembalikan
titipanNYA kelak, namun yang pasti saat ini dia adalah anugerah yang
hebat untuk kami.
11 Juli 2014
Belum juga mesin absen menunjukkan
pukul 16.00 WIB, dering telefon selular sudah menyibukkan jemariku
untuk mengangkatnya. Berkali-kali memeriksa kantong baju, tak juga
kutemukan asal suara nada dering polifonik tersebut. Hingga akhirnya
nada itu berhenti dan telefon selular kecil berwarna merah itu
teronggok begitu saja diatas meja tertutup sebuah kertas folio.
Sebuah panggilan masuk tak terjawab muncul memenuhi seluruh layar
telefon tersebut dengan nama kontak yang begitu kuhafal 'emaknya
anak2'.
Terbersit tanya juga sedikit sesal,
kenapa tak kutemukan telefon selular mungil ini sedari tadi. Namun
apa daya sifat pelupaku tak mengijinkanku menemukan barang mungil itu
dengan cepat. Namun bila ada sebuah panggilan dari istri tercintaku
di sore hari begini kemungkinan terbesarnya adalah ajakan untuk
berjalan ria. Di bulan ramadhan ini selepas pulang kantor adalah
acara kami mencari makanan pembuka untuk waktu berbuka nanti. Jadi
sudah dapat ditebak bahwa dia sudah tak sabaran unutk mendatangi
sebuah spot kuliner di satu bagian kota ini dimana di sepanjang bulan
ramadhan ini menjadi titik bertemunya para pencari kuliner memuaskan
dahaganya.
Semua diluar dugaan ketika selang waktu
berikutnya sebuah pesan singkat masuk, “han, ketubannya rembes
banyak sekali!” pekan ini adalah pekan ke 33 usia kehamilan istri.
Keluarnya air ketuban bukanlahpertanda baik bagi jabang bayi,
setidaknya begitulah dari banyak literatur yang kuketahui. Disamping
itu ini adalah kehamilan keempat bagi istriku, pengalamannya
mengandung pasti berkata 'there's something wrong with my pregnancy'.
Seketika itu duniaku beralih, apapun yang kukerjakan kala itu serasa
hitam putih yang ada di kepalaku hanya terbayang wajah istri. Kuambil
kendaraan dan kupacu dengan serampangan untuk menjemputnya.
Sekonyong-konyong aku telah disisinya,
menyaksikan wajahnya yang semakin pucat. Terbaring lemah di atas
ranjang bersalin, dengan beberapa alat asing yang tak pernah kulihat
selama ini. Memperdengarkan suara degup jantung si jabang bayi, di
layar kecil alat itu tertulis angka angka. Sebuah tanda berbentuk
hati ada di ujung atas layar tersebut berdetak seirama dengan degup
jantung yang terdengar, menunjukkan angka 140 hingga 160 secara acak.
Entah apa yang dimaksud oleh informasi pada layar alat itu yang
kutahu, degup jantung jabang bayiku sungguh kuat dan cepat.
Tak berapa lama wajah yang lumayan
kukenal muncul menyapa dengan ramah dan berusaha menenangkanku dan
istriku. Wajah yang cukup kukenal itu adalah dokter ramah yang selama
ini kudatangi untuk kontrol rutin kandungan istri. Seperti sudah
mendapat informasi sebelumnya entah dari para perawat yang menangani
pertama kedatangan istri, dia menjelaskan duduk masalah yang dialami
kandungan istri dan berusaha memberi solusi untuk kandungannya.
Dokter memberikan tiga opsi bagi istri.
Satu, dia menganjurkan untuk mempertahankan kandungan karena kondisi
paru-paru bayi yang belum siap untuk menghirup udara diluar perut
ibunya. Dua, apabila terjadi kontraksi dengan terpaksa bayi harus
dikeluarkan dan divakum kemudian untuk menunjang kehidupan awalnya di
dunia. Tiga, bila air ketuban kering dan tidak ada kontraksi terpaksa
harus diambil tindakan operasi cesar. Dengan pilihan itu tentu saya
harus mengikuti anjuran dokter untuk mempertahankan kehamilan hingga
setidaknya berat bayi sampai pada batas minimal untuk melahirkan
yaitu 2.500 gram.
Maka hari itu dimulailah pengalaman
yang sudah sangat lama sekali tak kujalani yaitu menginap di kamar
rumah sakit. Beberapa dosis obat penguat diberikan kepada istri,
melalui selang infus yang ada di tangan kanannya. Juga antibiotik
agar apabila memang yang membuat ketuban pecah adalah karena infeksi
bakteri maka antibiotik dosis yang lumayan tinggi itu mampu
menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri tersebut.
12 Juli 2014
Sabtu sore, 24 jam kami sudah menginap
di salah satu bangsal rumah sakit Ibu dan Anak ini. Rumah sakit yang
masih baru ini begitu bersih, ruangannya nyaman, hampir seluruh
peralatan dan alat penunjang kesehatan di sini baru dan modern. Tapi
itu semua tetap tak menghapus kesan di mata kami bahwa
senyaman-nyamannya tempat untuk tidur justru di kamar kecil kami.
Bersama itu semakin pudar juga kenyamanan ku membersamai istri, juga
harus mondar mandir melihat kondisi ketiga krucilku dirumah. Walau
sebenarnya jarak antara rumah sakit dan rumah bisa ditempuh hanya
dalam waktu 5 menit.
14 Juli 2014
bertambah kegiatanku hari ini, setelah
harus mondar mandir antara Rumah sakit dan rumah selama dua hari.
Hari ini adalah hari aktif bekerja, karena cuti belum kuambil maka
harus kudatangi lagi mesin absen itu di pagi hari. Kemudian sesegera
mungkin kembali ke rumah sakit, karena memang istri tak ada yang
menemani. Walau sebenarnya di bangsal itu terdapat perawat dan
kondisi pasien dirumah sakit itu yang tak terlalu ramai. Namun ada
perasaan tak tega bila orang lain yang merawatnya, yang seharusnya
itu adalah tugasku sebagai suami.
Menyelesaikan sedikit tunggakan
pekerjaan, ku pacu motorku mendatangi bangsal istri dirawat. Akhirnya
kudengar kabar gembira bahwa istri sudah diizinkan dirawat di rumah
untuk menunggu saat yang tepat untuk kelahirannya. Mungkin 2 atau 3
minggu kemudian bobot yang diinginkan agar jabang bayi bisa lahir
tercapai sekaligus paru-parunya telah siap untuk menghirup udara
dunia.
Ibu dokter yang selalu merawat istri
dengan senyum ini baru saja meninggalkan ruangan bangsal, untuk
melakukan check up rutin harian. Proses itu pun dimulai, setelah
memastikan bahwa ketuban tidak lagi rembes dengan berjalan menuju
kamar mandi. Justru kontraksi yang di dapat, intensitas kontraksi
yang langsung memuncak membuat penilaian perawat satu-satunya yang
kebetulan jaga menyangsikan bahwa istri akan segera melahirkan.
Hanya satu kali kontraksi, namun istri
membisikkan di telinga dengan lirih 'sepertinya ini sudah saatnya,
han!' ok. Seketika kupanggil perawat untuk membantu persalinan ini,
namun justru kata 'tunggu!' yang kudapat. Maka ini saatnya aku harus
membantu istri dalam proses unassisted birth. Berbekal pengalaman
pada anak sebelumnya, kami pun bekerjasama. Istri berinisiatif untuk
memiringkan badannya agar memudahkan si jabang bayi menemukan jalan
lahirnya. Benar kiranya, tak berapa lama air ketuban sudah pecah dan
banyak yang keluar bersama sedikit darah.
Segera ku posisikan tubuh istri untuk
setengah duduk, sekitar 60 derajat vertikal. Dan kuposisikan diriku
untuk siap menerima si jabang bayi. Sambil menekan lututnya agar
selalu terbuka, kuinformasikan kondisinya selalu kepada istri. Tak
berapa lama, kepala mungil menyembul dari jalan lahir. Kuminta istri
untuk berhenti mengejan, ambil nafas dalam dalam dan hembuskan
perlahan. Ada perasaan lega ketika kepala mungil itu nongol, karena
untuk persalinan apabila kepala sudah keluar maka tenaga besar yang
dibutuhkan istri untuk mengejan telah selesai. Ini saatnya bagi
assiten persalihan mengambil alih.
Segera kupegang kepala mungil itu dan
kutarik perlahan agar sempurna si jabang bayi keluar dari jalan
lahirnya. Saat seluruh tubuh bayi telah berada di luar, dengan
tergeda seorang bidan datang, ku pinta sang bidan untuk tidak
tergesa. Disamping agar sang bidang memeprsiapkan diri dan peralatan
juga agar bayiku mendapat seluruh saripati yang masih tertinggal di
dalam plasentanya. Para pakar menyebut hal ini sebagai lotus birth,
tapi apapun itu namanya mendengar tangisnya yang pecah disaat kutarik
tubuhnya membuatku semakin lega. Karena tangis bagi bayi yang baru
lahir adalah pertanda, pertanda bahwa segalanya berjalan lancar. Si
bayi juga sehat dan siap untuk hadir di dunia.
Setelah terputus plasenta yang
menghubungkan bayi dan ibunya, segera kudekatkan tubuh si bayi di
atas dada ibunya. Mencoba menghubungkan kembali ikatan yang
sebelumnya terpisahkan, mengasah insting mamalianya untuk mencari
putting susu ibunya. Mengajarkannya tentang dunia, inilah pelajaran
pertama yang akan dia dapat, bahwa didunia semua tak tersedia dengan
mudah, 'nak, kamu harus berjuang bahkan untuk mendapatkan putting
susu ibumu!' aku menginisiasi anakku agar selanjutnya dia sadar bahwa
hidupnya sebagai manusia didunia telah dimulai.
Dengan pakaian yang masih bersimbah air
ketuban kuserahkan si jabang bayi yang plasentanya telah dipotong
oleh sang bidan kepada perawat, untuk dibersihkan dan dihangatkan.
Kuserahkan penangan istriku kemudian kepada sang bidan. Mulai dari
membersihkan sisa-sisa darah dan plasenta di dalam perutnya hingga
membersihkan ranjang. Sebab tak sempat lagi membawa istri menuju
ruang bersalin, maka di ranjang bangsal itulah anakku lahir didunia.
Kudatangi si bayi di ruang bayi, segera
kukenalkan lafadz syahadat dan kukenalkan kepada Allah Tuhannya dan
Muhamamd nabinya di telinganya. Aku ingin itulah kata dan kalimat
pertama yang amsuk kedalam gendang telinganya. Ku kulum satu butir
kurma walau saat itu masih dalam keadaan berpuasa. Setelah hancur dan
bercampur dengan air liurku, kuambil menggunakan kelingking dan
kuusapkan berkali kali di langit langit mulutnya dan di seluruh
bibirnya. Rasulku menyebut ini adalah tahnik, dan inilah satu-satunya
proses imunisasi yang kulakukan kepada bayiku.
Sebab sebelumnya telah kutanda tangani
sebuah pernyataan untuk tidak memvaksinasi, tidak menyuntikkan
vitamin K dan tidak mengenalkannya dengan susu formula. Sehingga para
tenaga kesehatan yang ada saat itu telah faham dan tidak melakukan
tindakan apapaun untuk melakukannya. Ini adalah amsalah pilihan, dan
saya bersyukur institusi rumah sakit itu begitu demokratis dengan
menghormati pilihan kami untuk tidak melakukan vaksinasi, injeksi
vitamin K dan tidak mengenalkannya dengan susu formula.
Bersyukur sedalam dalamnya kepada Allah
SWT. Setiap proses yang kami jalani sungguh sangat dimudahkan, tiada
yang akan menduga bahwa bermula dari rembesnya air ketuban membawa
bayiku lahir terlalu cepat ke dunia. Dengan kondisi sehat, dengan
tanpa tindakan medis yang berlebihan dan kami ditunjukkan jalan
kemudahan dalam pilihan tindakan yang kami yakini.
Anakku akan menjadi bintang yang paling
cemerlang di langit kelak, setidaknya itulah nama yang kusandangkan
untuknya. Menjadikannya pengikut Muhammad yang siap berperang demi
agama di barisan terdepan. Ditakuti lawan dan pantang menyerah. Do'a
kami di nadimu!
Subhanallah... saya tidak tau mau bilang apa membaca kisah ini, meskipun saya belum berkeluarga tapi setidaknya ini memberikan banyak pelajaran untuk saya nantinya.
BalasHapusSaya mau tanya mas, memang ada apa dengan vaksinasi dan injeksi vitamin k ? terus saya baru tahu juga tentang kurma itu mas.
infonya sangat-sangat bermanfaat, semoga bayinya sehat dan menjadi anak yang soleh
vaksinasi adalah program wajib pemerintah, namun disisi lain ada banyak hal yg belum diungkapkan secara jujur.
BalasHapus1. tentang kehalalannya
2. tentang kandungan adjuvan didalamnya
3. tentang kontaminasinya terhadap lingkungan
4. tentang pendataan KIPI nya
vitamin K sudah tercukupi dari kolostrum yang keluar melalui susu ibu di awal melahirkan...
tahnik atau mengoleskan kunyahan kurma di langit langit bayi, adalah ajaran nabi muhammad saw. yang tentu banyaks ekali manfaatnya.
terima aksih telah berkunjung, aaamiin terima kasih doanya
Teriamakasih infonya. semoga bermanfaat buat kita semua. salam sehat!! Informasinya sangat menarik sekali.
BalasHapusspeechless....
BalasHapus@masichang nugrohoSama2 mas, saya perlu belajar banyak soalnya tentang seperti ini apalagi bagi mereka yang ingin persiapkan diri kejenjang kehidupan pernikahan :)
BalasHapus@f4dLy :) betul sekali memang, wawasan dalam hal ini memang harus dieprsiapkan sejak dini untuk menuju jenjang rumah tangga.
BalasHapus@Tyas ga papa speechless, yang penting jangan ngetikless
BalasHapus@cara mengecilkan perut buncit aaaamiin, terimakasih
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussemoga dapat ebrmanfaat dan menjadi inspirasi.. terima kasih ya gan infonya semoga makin jaya..
BalasHapusTeriamakasih infonya. semoga bermanfaat buat kita semua. salam sehat!! Informasinya sangat menarik sekali.
BalasHapus