Harga Untuk Konsumerisme

 "We buy things we don't need with money we don't have to impress people we don't like" - Fight Club-

Kebiasaan lama terusik akhir-akhir ini. Ba’da maghrib waktu yang biasanya digunakan untuk bercengkerama dengan seluruh anggota keluarga. Mulai dari makan bersama, membersamai anak-anak mengerjakan PR nya, bahkan mendengarkan keluh kesah istri agak terganggu. Kusadari setelah kesekian malam baru tadi malam istri menegur, “yah, matikan dulu HPnya donk!” butuh sekian menit untuk ku sadari bahwa itu bukan hanya teguran. Namun juga bentuk kasih sayang dan perhatian yang begitu besar darinya.

Malam sebelumnya sebenarnya jejakaku yang dah kelas 1 SD telah menegur, namun dengan cara yg jauh lebih implisit. Dia menyodorkan buku iqro’nya dan meminta untuk mengulang dan mengoreksi bacaannya ketika HP masih ada digenggamanku. Aku hanya menoleh dan mengiyakan mengulang sesuai permintaannya. Meski mataku melihatnya namun pikiran dan kesadaranku masih di layar HP. Begitu juga gadisku yang masih berumur 5 tahun, mulutnya terus bercerita namun tak ku ingat apa yang diceritakannya. Justru layar HP ini yang selalu menetap di kepala.

Bukanlah hal besar yang ada di layar HP, bukan pula topik yang sedang mencuat yang sedang kuperhatikan. Hanyalah percakapan yang semakin intens dengan banyak orang yang ada di beberapa jejaring sosial dan grup-grup chating. Namun yang menguras begitu banyak perhatian adalah kegemaranku terdahulu menelusuri toko-toko online.

Kebiasaan lama ini kembali muncul saat begitu banyak kabar-kabar mengenai perbaikan penghasilan yang dihembuskan. Memang benar bila semakin besar penghasilan maka akan semakin besar pula agretifitas konsumerisme. Setidaknya begitulah yang kurasakan, baru hanya sebuah issu namun pengharapan akan konsumerisme sudah begitu tinggi, mengakibatkan kuota data di HPku berkurang drastis hanya untuk berselancar di toko-toko online.

Apakah itu menjadi masalahku? Sepertinya itu telah menjadi masalah sebagian besar orang. Masalahku sendiri adalah nafsu belanjaku yang sangat sensitif terhadap rangsangan sedikit saja. Baru juga isu namun keinginan untuk belanja itu sudah sangat menggebu. Padahal itu kan baru isu, kalaupun jadi kenyataan kan belum tentu sanggup untuk membelinya. Kalaupun sanggup untuk membelinya, bukankah ada kebutuhan lain yang jauh lebih primer untuk dipenuhi. Itu masalah ku, entah mungkin juga masalah banyak orang.

Kemajuan teknologi telah membuat konsumerisme semakin mudah untuk diaplikasikan. Cukup membuka gadget, siapkan alat bayar elektronik maka konsumerisme dapat diberi makan dengan lahapnya. Yang kemudian membuatku begitu menyesal adalah konsumerisme yang kurasakan justru merenggut kehadiranku sebagai bapak di tengah tengah keluargaku. Mungkin tak begitu masalah bila konsumerisme menghabiskan hartaku, namun ternyata tidak. Konsumerisme ini merenggut juga sosok bapak di dalam keluarga. Fisik memang ada diantara mereka, namun mereka mendapatkan selongsong fisik bapaknya.

Jadi teringat sebuah kisah yang diceritakan salah satu guruku. Beliau dulunya hanyalah seorang ustadz di sebuah mushalla kecil. Hingga kemudian beliau menjadi seorang pengusaha sukses, memiliki beribu karyawan, memiliki pabrik di beberapa tempat. Berhasil memasarkan produknya di beberapa Negara. Hartanya berlimpah, namun ada hal yang tak berubah darinya. Kesederhanaanya, beliau zuhud menjalani kehidupan dunia. Hingga rahasia kecil ini terkuak melalui mulut ke mulut diantara para pegawai dan santri-santrinya. Beliau hanya memiliki 10 pasang baju yang peruntukkanya beliau bagi untuk acara resmi, untuk bepergian, untuk tidur dan untuk shalat.

Betapa konsumerisme tidak mengikis hatinya, betapa ketenangan hatinya dapat saya bayangkan. Sehingga kezuhudannya dapat kujadikan bayangan bahwa waktu untuk keluarganya sungguh teramat banyaknya. Karena tidaklah beliau disibukkan dengan hal hal yang berbau konsumerisme. Beliau adalah Wan Haji ismail pendiri dan pemilik brand HPA (Herba Penawar Alwahida), semoga Allah selalu merahmati beliau. Aamiin.

4 komentar:

  1. Ya, kadang dunia maya malah merampas kebersamaan kita dgn keluarga. Patut belajar dari para guru yang tak mengubah gaya hidup meski harta kian melimpah.

    Ohya, mas ichang, buku saya diterbitkan tetap dgn menggunakan jasa penerbit hehe ... Jadi tidak mendesign cover dan layout sendiri. Mengenai ISBN kalau tak salah harus diajukan oleh lembaga (macam penerbit)

    BalasHapus
  2. @ani rostiani

    iya bu, kita butuh banyak guru...

    oh iya, terima kasih infonya bu tentang ISBN

    BalasHapus
  3. makjleb banget buat saya yang sering belanja online.. tapi yg jadi satu prinsip saya, kalo uda ketemu keluarga, hape harus diletakkan dengan rapi..

    BalasHapus
  4. @Ayu Citraningtias nah untuk yg terakhir saya harus banyak belajar dr mbak ayu nih...

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.