Pengingat Ego dan Harga Diri


Rutinitas pagi yang biasanya kulakukan adalah mengantar istri ke tempat kerjanya. Meskipun dia bisa mengendarai motor sendiri namun membersamainya hingga tempat kerjanya yang lokasinya tak begitu jauh dari tujuan pagiku sudah cukup membuatku tenang. Hal yang kemudian membuatku selalu memperhatikan detail jalur yang kulalui. Diantara sekian banyak hal yang mengusik pemandanganku adalah ketika di sore hari selalu kutemui seorang bapak penjual keripik seadanya dengan dipanggul. Seadanya karena memang bisa dikatakan keripik yang dijual terkesan apa adanya, bercampur antara keripik singkong, keripik pisang, keripuk uli dan lain-lain. Keripik yang dibuat sendiri yang kelihatannya peruntukannya bukan untuk dijual hanya untuk dikonsumsi sendiri. Bila di bawa ke sentra penjualan keripik yang tersebar di kota ini pun mungkin keripik milik bapak itu akan tersortir dan tak laik jual.

Yang menjadikan bapak itu selalu berada disudut mataku saat melintas adalah, bapak ini menggunakan tongkat bantu untuk berjalan. Mengiasyaratkan kalau beliau adalah seorang tuna netra. Memang kondisi dimana seseorang memiliki discapabilitas daripada normal selalu menempati simpati yang berbeda. Mendeskripsikan kekurang beradaannya dalam bentuk iba, namun sejatinya bukan itu yang ingin ditunjukkan. Palah dikata hati kadang memiliki suasananya sendiri, sehingga discapabilitas itu menjadi sebab untuk sebuah rasa iba.

Bapak penjual keripik tunanetra itu setiap sore selalu ada di titik itu. Sering kubaca diberanda social media mengenai perlakuan discapabilitas ini,”belilah dari mereka, meskipun engkau tak membutuhkannya!” sebab usaha mereka memepertahankan harga diri jauh lebih berat daripada kebanyakan orang normal. Namun terkadang aku juga ingin merasakan berada di sisi mereka, tanpa merasakan discapabilitas itu tentunya (emang siapa yg ingin buta?) mungkinkah? Dan ingin membuktikan benarkan nasehat diatas? Apakah pernyataan diatas adalah bentuk belas kasihan?

Bila ditilik dari sisi si normal rasanya memang pernyataan diatas adalah pernyataan belas kasihan, dan berdasar apa yang disampaikan ibnu qayyim, hal itu dapat melembutkan hati, menurunkan ego dan mengikis habis rasa berbangga diri. Karena mata kita ditunjukkan sebuah perjuangan mengatasi kesulitan hidup dengan modal yang minim. Namun belum pernah kudengar apa yang dirasa si penyandang discapabilitas.

Bila ada yang pernah melihat viral video yang tersebar di youtube, perjuangan Dick dan Rick Hoyt yang ingin mengatakan kepada dunia bahwa penyandang discapabilitas tak perlu dikasihani. Mereka hanya butuh di beri ruang pemakluman lebih, lebih besar daripada seorang wanita dibelakang kemudi.

Akhir-akhir ini aku tak sempat turun dari kendaraan hanya untuk menyapa bapak penjual keripik tunanetra di pinggir jalan itu. Banyak sekali alasan yang kubuat di dalam hati untuk membenarkan ketidak pedulianku. Mungkin egoku semakin tinggi dan rasa banggaku telah menutupi, atau mungkin kini selalu kulihat si bapak yang ditemani seorang putri cantik yang terlihat soleha dengan kerudungnya. Entahlah, bapak itu mungkin akan selalu berdiri di pinggir jalan menjajakan keripik tak laik jualnya. Hanya untuk mengingatkanku akan ego dan harga diri…..

4 komentar:

  1. seneng sekali baca cerita ini, yg selalu mengantarkan istrinya ke tempat kerjanya :)

    BalasHapus
  2. Orang bijak berkata, "Jangan lihat sosok nya, lihat yang ia bawa. Jangan lihat usianya, lihat yang ia sampaikan"

    Ini contoh konkrit nya nih :')
    Inspiring banget

    Syukurlah kita berada pada keadaan yang lebih baik. Maka tak inginkah kita bersyukur? :')

    BalasHapus
  3. @AuL Howler setuju mas aul.. haus banyak banyak bersyukur

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.