Pilihan Hidup Halal

Beberapa hari yang lalu terjadi percakapan menarik di dalam sebuah grup. Di mulai dari salah satu anggota grup yang menanyakan tentang kehalalan produk sebuah restoran baru. Salah satu restoran di sudut kota itu tak berbeda dengan restoran lain, dengan menu makan yang juga tak terlalu wah. Hanya saja ada menu special disana yaitu ice cream, tentu saja sekali anak anak tahu hal ini mereka akan ketagihan untuk mengajak kesana.

 Yang kemudian menjadi pemicu si anggota ini bertanya adalah rasa risihnya dari melihat barang yang digunakan untuk menghias dinding interiornya. Berpuluh botol minuman beralkohol tersusun rapi, indah dipandang mata. Hobi yang menarik juga menjadi kolektor botol minuman yang bentuk dan warnanya beranekaragam. Namun menjadi sebuah tanda Tanya besar, apakah isinya juga dikonsumsi.

Wajar dengan desain interior seperti itu konsumen akan timbul berbagai pertanyaan dan asumsi. Hingga salah satu anggota grup penasaran dan melontarkan topik mengenai kehalalan produk rumah makan itu. Namun tak lupa dia menanyakan secara langsung pelayan kegusaran hatinya, apakah produknya tidak bersinggungan dengan bahan-bahan yang diharamkan secara syariat islam?
Jawaban normatif dari si pelayan adalah, “selama ibu tidak pesan wine maka halal”. Ini adalah jawaban normatif yang mungkin tak menjawab penasaran si anggota tersebut. Jawaban itu juga sebuah pengakuan ketidak fahaman si pelayan mengenai kekritisan penggunaan bahan tidak halal terhadap produk yang dihasilkan.

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada hal-hal yang syubhat (menyerupai halal atau menyerupai haram), Banyak orang tidak mengetahui hal-hal yang syubhat itu. Barang siapa yang menjaga diri dari yang syubhat maka ia telah membebaskan diri dari yang haram untuk agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang terjatuh pada syubhat, jatuh pada hal yang haram, ia seperti penggembala yang menggembala di sekitar kebun yang dijaga, pastinya gembalaannya akan memasuki kebun itu. Sesungguhnya setiap raja memiliki batas wilayah yang dijaganya, Adapun batasan Allah di bumiNya adalah hal-hal yang diharamkannya. Sungguh dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan jika rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya, Sungguh ia adalah jantung” (HR Bukhari dan Muslim).

Menjaga diri dari hal yang syubhat adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim, termasuk menghindari yang haram. Oleh karena itu berhati-hati terhadap setiap makanan dan minuman yang akan amsuk kedalam tubuh adalah pilihan yang tak bisa dihindari. Dengan semakin banyaknya rumah makan tak menjamin setiap pemilik akan konsen terhadap kehalalan apa yang disajikannya.

MUI sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk menjamin kehalalan sebuah produk dengan sertifikat halalnya. Didampingi oleh para ulama dan ilmuwan dibidangnya untuk meneliti kehalalan sebuah produk. Namun dalam prakteknya MUI maupun LPPOM MUI tidaklah memiliki wewenang untuk mewajibkan setiap produsen agar mendaftarkan produknya untuk diteliti. Kembali dalam hal ini adalah masalah keuntungan yang akan didapat oleh produsen dalam memilih strategi bisnisnya uintuk meraih konsumen.

Sebagai konsumen dalam hal ini adalah pemilik keputusan mutlak apakah akan menjadikan sertifikat halal MUI sebagai patokan landasan kehati-hatiannya dalam mengkonsumsi yang halal atau tidak. Sertifikat halal hanya menjelaskan kepada konsumen bahwa produk telah dijamin kehalalannya.
Sehingga apabila ada produk tanpa sertifikat halal bukan berarti produk itu statusnya haram. Ada faktor indikator lain yang dapat menjadi patokan apakah produk itu halal atau syubhat.

Beberapa faktor indikator itu diantaranya adalah, kebiasaan produsen dalam penggunaan bahan. Kebiasaan produsen dalam bertransaksi dengan siapa untuk pembelian bahan. Aksesoris yang digunakan dalam sebuah outlet makanan, atau lebih intens bisa jadi agama si penjual. Indikator –indikator diatas dapat digunakan sebagai cara meyakinkan diri sendiri apabila tak dapat ditemui sertifikat halal pada produk atau rumah makan.

Kehati-hatian dibutuhkan untuk menjaga diri ini dari hal-hal yang sudah digariskan oleh Alalh dan rasulNYA. Maka penting kiranya bagi setiap muslim untuk sadar mengenai apa yang masuk kedalam tubuhnya. Wajib bagi muslim untuk menghindari yang haram. Ini adalah masalah besar bukan amsalah sepele. Mengingat hadits ini,

Rasulullah SaW Bersabda : "Ketahuilah bahwa sesuap makanan haram jika masuk kedalam perut salah satu dari kalian maka amalannya tidak akan diterima selama 40 hari." ( hadits riwayat ath thabrani )

Alangkah meruginya.

6 komentar:

  1. Para salafu al shalih sangat takut kepada hadis Nabi, 'Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram, maka api neraka lebih pantas untuknya.'

    Di samping itu, mereka sangat yakin bahwa makanan adalah sumber tenaga dan inspirasi untuk tubuh dan otak. Makanan yang halal akan membuat tubuh gampang untuk melaksanakan ibadah. Kehati-hatian mereka juga untuk keluarga. Mereka tidak mau memberi makanan yang haram kepada keturunannya agar melahirkan sifat terpuji, karena yakin ketika keluarga diberi makanan yang haram, jangan diharapkan istri dan anak kita akan membawa kedamaian di tengah keluarga.

    BalasHapus
  2. @islam di dadaku sangat sangat setuju sekali saya pak....

    BalasHapus
  3. @masichang nugrohomaaf saya disini mas Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du

    Menyentuh najis bukan termasuk pembatal wudhu. Karena yang menjadi pembatal wudhu adalah hadas, bukan menyentuh najis.

    Dalam fatwa Lajnah Daimah dinyatakan:

    لا ينتقض الوضوء بغسل النجاسة على بدن المتوضئ أو غيره

    “Wudhu tidak batal disebabkan mencuci najis, baik yang berada di badan orang yang wudhu maupun orang lain.” (Majalah Buhuts Islamiyah, volume 22, Hal. 62)

    Syaikh Ibnu Baz juga menjelaskan yang sama:

    “أما مس الدم أو البول أو غيرهما من النجاسات فلا ينقض الوضوء ، ولكن يغسل ما أصابه

    Menyentuh darah, atau air kencing atau benda najis lainnya, tidak membatalkan wudhu. Hanya saja, dia harus mencuci bagian yang terkena najis. (Fatawa Ibnu Baz, 10: 141)

    jadi najis tetap harus dibersihkan bukan karena membatalkan wudhu tapi untuk kebersihan karena adalah wajib tubuh kita bersih sebelum menghadap/Shalat kepada Allah SWT

    Allahu a’lam.

    BalasHapus
  4. globalisasi membuat segala sisi menjadi rentan terkena penetrasi, ya, mas, tak terkecuali dengan mudahnya orang berbuat sebebasnya agar jualannya enak dan menarik tanpa mempedulikan batasan halal haram. Sebagai konsumen kita jadi harus lebih selektif. Kewajiban pemerintah pula utk mengatur label yang jelas bagi usaha makanan/minuman. Salam, mas ichang

    BalasHapus
  5. @ani rostiani betul sekali bu ani.... sekarang tinggal konsumennya yg harus menentukan.

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.