Berat Menjadi Ayah Baginya


“Ayah, mbak minta dianter ayah ke sekolah aja!”

Suara saya tercekat di kerongkongan demi mendengar pinta malaikat saya ini. Malaika demikian dia disapa, malaikat yang selalu menjadi tambatan hati saya. Usianya telah memasuki masa sekolah, baru saja memasuki minggu kedua masa sekolahnya. Belum sekalipun diri ini menyempatkan waktu untuk mengantarnya ke sekolah. Salah satu sebabnya adalah letak kantor saya yang kini lebih jauh dari sebelumnya.

Malaika sejatinya telah saya didik mandiri sejak awal, dia membuktikannya dengan tiada rengekan di hari prtama sekolahnya. Tiada takut dan tiada gentar menjalin hubungan dengan orang-orang baru, baik dengan guru-gurunya maupun dengan teman-teman barunya. Namun kalimat yang terlontar di pagi ini sungguh menyentuh relung dadaku.

Dengan senyum genit dan kerlingan nakalnya dia berusaha meluluhkan hati ayahnya yang memang telah menggenang telaga. Hanya saja air mata ini seperti pantang tuk tertumpah dihadapannya. Terbantahkan semua setiap kalimat yang kujanjikan kepada keluargaku bahwa merekalah nomor satu. Kenyataannya saya ga bisa melawan aturan yang ditetapkan instansi tempat dimana disanalah rezeki mengalir. Dilema klasik bagi para pengabdi negara, para jongos rakyat, kroco mumet yang selalu menjadi pusat tekanan.

Bagi banyak ayah kantoran mengantarkan anak ke sekolah adalah momen istimewa dan langka. Dengan jam kantor yang terkadang lebih rajin dari matahari, membersamai anak menuju sekolah menjadi hal yang hampir mustahil untuk dilaksanakan. Berbeda dengan jaman saya sekolah dulu, hari ini anak sekolah pun hanya memiliki 5 hari kerja setidaknya yang saya ketahui dari anak-anak yang memang bersekolah di sekolah swasta. Kenapa saya pilih sekolah swasta? Itu nanti akan saya bahasa di tulisan yang lain, stop sampe disini mbahas.. salah sendiri nyekolahin anak di sekolah swasta.

Waktu yang didapat oleh dua jiwa ketika menjalani proses pengantaran ini memang tak panjang, namun kualitas yang didapat sungguh dalam. Bagi ayah mengantarkan anaknya ke sekolah adalah sebuah tuntunan jiwa dimana menjadi ayah adalah implementasi menjadi sosok pelindung. Ketika mengantarkan anak kesekolah ada kenangan manis dimana ayah akan mengingat kenangan masa lalu yang indah. Membersamai anak ketika menuju gerbang sekolah adalah sebuah ekspresi kebanggaan betapa mengantarkan anak ke sekolah adalah miniatur bagaimana kita akan menyerahkan titipan kepada pemiliknya kelak.

Sedangkan dimata anak, diantarkan oleh ayah adalah sebuah pengakuan. Bagi mereka dengan ayah yang mengantarkan hingga ke pintu gerbang sekolahnya adalah cerita yang akan membuat mereka ada. Lihat itulah ayahku, sesibuk apapun ayahku dia masih mau mengantarku! Itu adalah cerita indah yang akan dibanggakannya dihadapan guru dan teman-temannya. Tak ternilai harganya, namun hanya dapat tertandingi oleh sebuah perintah kedinasan.

Ayah adalah pelindung, pelindung bagi kestabilan jiwanya. Pelindung bagi tautan cita-citanya. Bagi malaikaku aku hanya ingin menjadi cinta pertamanya. Hanya itu, semoga waktu kerjaku bukanlah menjadi penghalang bagi keutuhan cinta itu. Semoga….

2 komentar:

  1. anaknya manis sekali mas..
    oh ya kok bilangnya mbak..? adiknya berapa

    BalasHapus
  2. @Ninda Alhamdulillah manisnya nurun bapaknya... huek...

    masih ada adik 1 lagi..

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.