Gaple Berpasangan

Merunut kenangan ketika pertama kali kaki ini menginjak tanah si pahit lidah. Pulau Sumatera yang sebelumnya sama sekali masih asing bagi lamanya usiaku hidup. Apa dikata suratan takdir membawaku melanjutkan kehidupan di tanah seberang. Meninggalkan emak bapak, meninggalkan kenyamanan hidup dibawah ketiak orang tua. Menjadi perantau untuk mengukur sejauh mana keberhasilan mereka menempaku sejak kecil.

Satu-satunya yang kubawa adalah kenekatan khas orang jawa timur. Terngiang ucapan seorang tua ketika di sebuah stadion kebanggaan warga malang dahulu kala. “Dimana ada aremania disitu semua saudara” semakin membuatku tenang. Sesampainya di pemberhentian terakhirku segera kutolehkan wajah kepenjuru arah mata angin. Siapa tahu ada wajah wajah orang jawa diantara kerumunan penduduk asli bumi sriwijaya ini.

Hari berganti, ternyata tak seburuk yang dibicarakan banyak orang. Bulan berganti kutemui diriku semakin membaur dengan kebudayaan yang benar benar asing di tanah seberang ini. Namun entah kenapa diriku benar benar merasa diterima dilingkungan baru ini. Ibu kost yang bermuka galak namun berperangai santun dan sangat ngayomi. Warung-warung makan yang ternyata cukup mengenyangkan walau terkadang lidah dan perutku tak tahan dengan tipikal masakan pedas dan masam.

Malam itu tepat dua minggu sebelum perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang entah sudah keberapa, yang kuingat dengan pasti adalah tepat disebelah rumah kost telah berdiri 4 set tenda yang menurut desas-desus akan segera dimulai pertandingan akbar khas tujuhbelasan. Mulai dari jabang bayi sampe kakek nenek tua renta akan diikutkan dalam berbagai cabang lomba demi menyenangkan pak lurah.

Ibu kost memaksaku untuk bergabung dengan warga dan setidaknya mengikuti satu cabang lomba. Agar dikenal dan segera dapat membaur dengan warga setempat. Kuturuti ibu kost dengan mengikuti cabang lomba gaple/domino berpasangan. Dengan bangganya kutuliskan namaku di selembar kertas kosong dan kuserahkan ke panitia lomba gaple.

Mungkin siapa pasanganku nanti saat bertanding bukanlah masalah terbesarku saat itu. Yang menjadi hal kekhawatiran terbesarku adalah aku baru tahu ternyata permainan gaple berpasangan itu sungguh penuh strategi. Bukan asal lempar seperti yang biasa kumainkan dikampung halaman bersama teman-teman sebayaku.

Permainan gaple berpasangan disini adalah hal baru bagiku, strategi permainan yang sangat bergantung kepada hitung-hitungan, daya ingat dan mirip catur dimana kita harus membaca permainan dan dapat memblokade permainan lawan dengan taktis. Yang menjadikannya lebih berat kita juga diwajibkan membantu pasangan main kita agar selalu dapat membuang kartu gaple tanpa mati.

Jauh lebih berat dari catur sepertinya, dan ternyata benar dugaanku aku masih nol besar dalam permainan ini, sengsaranya adalah dalam undian ditentukan bahwa pasanganku adalah jawara tahun sebelumnya yang terkenal sangat alot dikalahkan sehingga bila aku kurang mampu membaca permainannya aku akan jadi titik lemah yang lebih mudah diserang.

Melihat kenyataan itu, pasangan gapleku seketika tertunduk lesu, jawara bertahan sudah melihat kekalahan didepan mata. Semua gara-gara aku, sengsara.... sungguh sangat tidak mengenakkan menjadi kambing hitam itu. Walau tak sampai terucap sang jawara selalu terus menyemangatiku bahwa aku bisa. Jalankan saja kartumu nanti aku bantu, sergahnya. Dasar memangnya tak memiliki basic gaple yang mumpuni dan sistem gaple berpasangan yang baru kali ini kutahu. Membuat keringat dingin segera keluar dengan lancar saat kartu pertama dibagikan.

Sejak saat itu, aku memandang permainan domino atau gaple berpasangan menjadi lebih serius. Permainan yang dulunya hanya kuanggap game ringan ternyata serumit dengan permainan catur. Yang membutuhkan strategi, taktik, hitung-hitungan dikepala bahkan harus menggunakan startegi poker face yang ga ada dalam catur.

Namun apabila di malam itu aku tak memberanikan diri untuk menuliskan namaku di secarik kertas tuk jadi peserta lomba gaple berpasangan tujuhbelasan. Mungkin aku juga masih enggan dan tak tertarik dengan permainan ini. Siapa tahu setelah tahun berganti kini aku semakin mahir memainkannya, setidaknya sebagai pengisi waktu dan alat bercengkerama dengan para tetangga di sekitar komplek.

Semua selalu ada yang pertama untuk segalanya, kita ini makhluk pembelajar. Kita tidak terlahir kedunia dengan ilmu laduni, dimana kita menguasai semuanya. Kita harus mempelajari semuanya, bahkan makan, minum saja kita harus belajar untuk pertama kalinya. Sudah fitrahnya bahwa cetak biru kita tidaklah berbentuk insting. Memang ada persentase kecil dalam naluriah kita untuk bertindak berdasar insting, namun sebagian besar pengalaman hidup kita dalah berdasar belajar dan latihan. Biarlah persentase besar insting ini Allah ciptakan untuk binatang saja sebab mereka hanya dikarunia buah pikiran dalam persentase kecil saja.
Terkadang kita terlalu senang berada di zona nyaman, dana begitu enggan memulai hal baru. Dengan banyak sekali alasan yang memang dibenarkan oleh alam bawah sadar kita. Sehingga untuk memulai hal baru justru melawan alam bawah sadar kita karena sama saja dengan keluar dari zona nyaman yang kita ciptakan sendiri.

First step is the hardest, memang begitulah pengalaman mengajari kita. Sungguh benar bila kemudian hari seseorang berkata. Pengalaman adalah guru terkejam, untuk mendapatkan ilmu melalui pengalaman kita harus menjalaninya terlebih dahulu. Sayangnya di dalam pengalaman dia tak pernah memilah mana yang pahit dan mana yang manis, kita harus menjalani semuanya.

Untung permainan gaple berpasangan ini tidak diperlombakan di ajang Seagames, Asian games atau Olimpiade. Mungkin aku akan ikut seleksi dan pelatnasnya saja sekalian. Hehehe...

2 komentar:

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.