Cintanya Tak Lekang Waktu


Beberapa waktu terakhir ini istri senang nonton satu acara di salah satu Chanel TV, acara yang awalnya tak membuatku tertarik. Semacam liveshow yang ditayangkan seminggu sekali, dengan durasi sekitar 60 menit. Awalnya ku pikir hanya acara murahan, biasalah acara-acara liveshow begini pasti banyk yang diatur, awalnya yang tujuannya mencari muatan yang mendidik lama-lama berubah jadi mencari rating murni.

Namun memang bila melihat chanel yang menayangkan bukan chanel yang biasanya berisi ‘sampah’. Jadilah tergerak tuk membersamainya nonton acaranya. Membersamai istri dalam mengerjakan hobynya itu termasuk romantis loh, kecuali kalau hoby istri nonton uttaran.

Judul acara live show itu menarik, “Married at the first sight” dimana acara dibuat sesungguhnya dan dengan pengaturan atau drama yang sangat minim. Di barat sono, menikah tanpa mengenal terlebih dahulu calon pasangannya bagi sebagian orang adalah hal tabu, dan bagi sebagian yang lain justru aneh.

Dengan berbagai persiapan, penilaian yang dilakukan oleh panelist yang terdiri dari pakar pernikahan, agamawan, psikiatrist dan dokter. Setiap season akan ada 3 pasangan yang akan dinikahkan tanpa mereka terlebih dahulu mengenal pasangannya masing-masing. Mereka diberi kesempatan selama 6 bulan setelah pernikahan untuk mengenal pasangannya masing-masing. Setelah 6 bulan 3 pasangan ini akan dipanggil kembali dan ditanya tentang komitmennya dalam melanjutkan pernikahan itu. Apakah mereka mendapatkan cinta dari pernikahan itu atau mereka jadi tidak cocok dan mengajukan cerai.

Di dunia yang agak ke timur, hal semacam ini justru sangat lumrah, dari jaman nenek moyang kita sering ada pernikahan yang diatur. Bahkan di dalam Islam justru menikah adalah pintu gerbang menuju kehidupan berumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Bagi dunia yang agak ke barat hal ini masih menjadi pertentangan.

Yang menjadi seru kemudian adalah, ketika di dalam liveshow ini, setiap episode menampilkan tiap babak dari 6 bulan kehidupan awal para pasangan yang sebelumnya tidak pernah bertemu sama sekali ini, dan hanya dipertemukan saat di altar pernikahan. Ada yang takjub dengan fisik pasangannya, ada juga yang kecewa karena tak sesuai impiannya. Semakin hari bersama, semakin mereka mengenal karakter, sifat, gaya hidup, kebiasaan bahkan menemui apa yang selama ini tak pernah terfikirkan oleh tiap tiap pasangan masing-masing.

Ada yang terkejut, dan sangat berharap pasangannya mengikuti setiap maunya. Ada yang terkejut dan bersikap defensif dan menutup diri dari pasangannya. Lebih banyak lagi yang terkejut dan berusaha mengenal lebih baik pasangannya. Semua tergantung bagaimana setiap pasangan bereaksi terhadap perbedaan.

Dalam menjalani pernikahan, kita merelakan banyak bagian dari diri kita untuk hilang. Namun bagian yang hilang tersebut menyisakan ruang yang siap diisi oleh orang lain yang kita nikahi. Perihal merelakan inilah yang membutuhkan waktu yang berbeda-beda bagi setiap orang. Lama waktunya pun tak memperdulikan sejauh mana kita mengenal pasangan sebelum nikah dulu. Mau cintanya first sight atau thousand sight after, tetep saja perkara merelakan ini adalah perkara yang sulit untuk diketahui ujung akhirnya. Bisa jadi hingga akhir hayat, masalah merelakan ruang untuk diisi orang lain ini masih menjadi perihal yang belum mendapatkan solusinya.

Saya tidak pernah menjadi perempuan, hingga saya tidak akan pernah tahu bagaimana perempuan merelakan hatinya untuk diisi dengan kehadiran orang lain dalam hidupnya yang saya tahu hanya sebuah larik indah dari om Garin Nugroho dalam menggambarkan hati perempuan; Cinta perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan terus menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi.

Om Garin menggambarkan cinta dihati perempuan itu seperti kuku, akan terus tumbuh walau dipotong sekalipun. Hati yang di dalamnya ada cinta yang tak pernah padam bila sudah mendapat tempatnya. Meskipun hanya memiliki ruang seujung jari, cinta itu tak pernah akan pernah lekang oleh waktu.

Sedang diriku, diriku memiliki ruang yang cukup luas untuk cinta yang tak akan pernah lekang oleh waktu itu. Dadaku cukup bidang untuk seluruh keluh kesah itu. Lenganku masih cukup kekar untuk mengangkat beban hidup itu. Dan jemariku masih cukup halus untuk mengusap setiap tetes air mata yang mengalir di pipi itu.

2 komentar:

  1. catatannya berharga banget mas buat saya. semoga sehat selalu sekeluarga
    lama nggak update mas, sibuk kah?

    BalasHapus
  2. @ninda terima kasih sudah mampir, hehee.... beginilah hidup.. kadang waktu begitu lentur terkadang waktu menyempit... kata einstein

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.