[OPINI] Bagaimana akhirnya kuputuskan tidak memvaksin anak-anakku

Tulisan ini hanya menyimpulkan dari pengalaman pribadi, tiada maksud apapun selain memberikan kabar berdasar pengalaman pribadi. Bila anda mengikuti prosedur apapun yang saya tuliskan di bawah maka segala bentuk resiko dan konsekuensi menjadi tanggung jawab pribadi.  

Latar Belakang
18 September 2008, saat itulah terakhir kali kupandang wajah ibuku. Ibu yang melahirkanku, yang memberikan air susunya, yang mengajari tentang hidup dan segalanya. Ibu divonis menderita kanker usus, sekitar 3 bulan sebelumnya. Dokter memutuskan untuk mengangkat kanker itu karena letaknya yang menutup jalannya makanan di dalam usus.

Yang menjadi solusi dari dilema yang harus diambil, antara membiarkan menangani kanker itu dengan obat namun membuat jalan lain di usus sebagai pembuangan feses, atau mengangkatnya dengan resiko kanker akan menyebar.

Dua puluh enam hari sebelum kepergiannya ibu menjalani terapi kemo untuk kankernya, dan selama itu penderitaan selalu menggerogoti tubuhnya. Aku tahu walau tak sepatah kata pun keluhan keluar dari mulutnya.

Kemoterapi bagaikan bom yang dimasukkan kedalam sekumpulan sel, dia tak membedakan mana sel sehat dan mana sel sakit. Sehingga sakit yang amat sangat akan diderita bagi pasien yang menjalani terapi kemo bukanlah mengada-ada.

Sepeninggal ibu, membuatku berfikir dan merenungkan hadits ini; “Nasihati dirimu dengan dua hal.

Nasihat yang berbicara yaitu Alquran dan nasihat yang bisu yaitu kematian.” Kematian ibu kujadikan pelajaran khususnya dalam hal kesehatan. Selama ini aku dibesarkan dalam keluarga yang tidak terlalu peduli dengan perihal kesehatan.

Percaya begitu saja terhadap apapun yang dokter katakan tanpa mau menelisik, tanpa mau mempelajari dan bertanya. Bertolak dari sakit ibu itulah kemudian bertekad untuk mulai mempelajari ilmu kesehatan.  

Mengenal Ilmu Kesehatan
Ditengah keawaman pengetahuanku akan ilmu kesehatan, sering ku berfikir. Sakit kanker ibuku pasti dimulai dari kebiasaan makan beliau yang kadang hanya berbatas pada halal dan haram. Menyelidik lebih jauh ibuku juga sering minum obat-obatan warung, makan dan minum yang serba instan.

Sehingga kumulai semua perubahan hidupku dari membiasakan diri mengkonsumsi yang alami dan mengurangi asupan sintetis dan instan. Tidak mudah minum obat saat sakit, menahannya hingga batas dimana tak sanggup lagi bertahan. Tekadku menemui peraduan, Allah mempertemukanku dengan seorang ustadz yang juga seorang terapis dan herbalis terlatih dan berpengalaman.

Yang menjadi sumber syukurku berikutnya adalah, beliau juga tanpa ragu-ragu mengajarkan seluruh ilmunya tanpa meminta imbalan sedikitpun. Beliau hanya berpesan, sampaikan ilmu ini kepada siapa saja, karena ilmu ini adalah harta karun muslimin. Rutin setiap minggu kudatangi ilmu itu, dimana lagi akan kudapatkan ilmu gratis ini.

Selain mendapatkan ilmu kesehatan islam aku juga diajarinya ilmu fiqh, mempelajari beberapa hadits, mempelajari tafsir dan sedikit muammalah. Alangkah luar biasanya, berapa pulau yang terlampaui dalam sekali dayung ini.

Lebih dari 2 tahun aku mendatangi ilmu itu secara intens, hingga kini pun masih terus kupelajari. Hingga benar apa yang pernah diucapkan ibnu qayyim, bahwa sepertiga ilmu yang diturunkan Allah ke dunia adalah tentang kesehatan. Semakin mempelajarinya akan semakin bodoh diri ini dibuatnya. Sehingga sampai kapanpun, status pembelajar itu tak akan pernah hilang.  

Natural dan Alami
Tak pernah sekalipun diri ini menyatakan tak membutuhkan dokter atau tindakan medis modern. Namun dokter dan tindakan medis modern bukanlah menjadi prioritas utama dalam hal penanganan kesehatan bagiku dan keluargaku.

Dokter dan tindakan medis modern adalah second opinion bagiku, karena memang begitulah urutan yang dapat diambil intisarinya dari salah satu kitab ibnu qayyim yang paling terkenal Thib nabawi.

Bahwa ibnu qayyim lebih mengedepankan pencegahan yang bersifat alopati dan holistik. Porsi penanganan penyakit pada keseluruhan tindakan kesehatan menurut ibnu qayyim adalah saat dibutuhkan saja.

Pencegahan penyakit menduduki porsi terbesar dalam keseluruhan keilmuwan thib nabawi. Sehingga bukan berarti dokter dan tindakan medis modern tidak dibutuhkan lagi, namun dibutuhkan pada saat yang tepat.

Bahan-bahan yang belum tercemar oleh sintetis kimia tidaklah memberikan efek samping bila digunakan pada dosis dan cara yang tepat. Alasan inilah yang kemudian menjadikan first optionku akan penanganan kesehatan teraplikasi. Sebenarnya alasan paling mendasar adalah karena sangat percaya bahwa industri farmasi itu telah berubah menjadi kartel yang memanfaatkan keawaman masyarakat.  

Keputusan tidak memvaksin
Vaksin, pada dasarnya hanyalah produk farmasi yang dipasarkan untuk mengeruk profit. Sama seperti produk farmasi yang lain. Satu teori yang saya percayai dalam penjualan produk farmasi ini adalah bahwa obat-obatan sintetis itu dipasarkan untuk membuat masyarakat addicted (walau tak semuanya). Pada dasarnya, sebagian besar produk farmasi hanya meredakan symptom, tidaklah menuntaskan sumber sakitnya.

Contoh, bila anda sedang flu, yang biasa dijual dipasaran adalah obat-obat yg mengandung, antipiretik dan sebagian ada yang mencampurnya dengan antihistamin yg memiliki efek mengantuk. Flu adalah bersumber dari virus, sedangkan hingga saat ini belum ada obat untuk membunuh virus (correct me if i’m wrong).

Sehingga pada dasarnya yang kita butuhkan hanya penguatan antibody, dengan cara istirahat, menambah asupan nutrisi dan vitamin dan memperbanyak cairan. Berbeda dengan vaksin, yang diklaim adalah sebagai pencegah untuk satu macam penyakit, baik itu yang bersumber dari virus ataupun bakteri atau yang lain.

Dengan begitu diciptakannya vaksin adalah sebagai deklarasi bahwa farmasi tidak memiliki cara untuk membunuh mikroorganisme itu kecuali dgn antibody yg terkandung dalam sistem imun manusia itu sendiri. Teori yang tidak sepenuhnya salah, namun sayangnya dieksekusi dengan cara dan prosedur yang salah. Dunia farmasi kemudian menciptakan vaksin, dari 3 jenis virus; a.virus hidup, b. Virus yang dilemahkan dan c. Biovirus (rekayasa genetik).

Cara yang ambisius untuk memulai sebuah teori yang belum teruji dan tanpa dasar yang signifikan. Memasukkan penyakit ke dalam tubuh agar terbentuk imunitas sudah merupakan jalan pintas bila saya berbicara dalam dunia kesehatan islam dimana yang menjadi dasarnya adalah wahyu. Namun para ulama sepakat menghukuminya mubah karena metode atau tata cara selain ibadah tidak ada larangan sebelum ada dalil yang melarangnya.

Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (Ad-Daraquthni (III/470, no. 4461).)

Prosedur yang terkesan trial and error, memiliki banyak kejanggalan atau info yang sengaja tidak disampaikan dalam hal pembuatan vaksin. Halal dan tayyib adalah rambu yang tak bisa dilanggar bagi muslim dalam setiap apapun yang masuk kedalam tubuhnya.

Halal dan Tayyib
Berbicara Halal tentu hal ini akan mengerucutkan pembahasan pada hanya muslim saja, walau sejatinya dahulu kala semua agama samawi sejatinya mendasari relnya salah satunya juga pada halal haram, namun biarlah itu menjadi pembahasan di topik yang lain. Sekarang mari kita jawab pertanyaan ini, Sepenting apa sih pemahaman halal itu bagi muslim?

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah setan karena setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 168)

Sa’ad bin Abi Waqash pernah meminta doa kepada Rasulullah saw. agar dirinya dijadikan orang yang doa-doanya diijabah. “Ya Rasulullah, doakan kepada Allah agar aku menjadi orang yang dikabulkan doanya oleh Allah,” ungkapnya. Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Sa’ad, perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, tidak akan diterima amal-amalnya selama empat puluh hari dan bagi seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya” (H.R ath-Thabrani).

Dari riwayat ini bisa ditarik kesimpulan, betapa halal adalah batasan bagi muslim dalam menempuh gaya hidupnya, betapa halal adalah syarat mutlaq bagaimana kualitas ibadah itu diterima. Jadi meremehkan batasan halal sama saja menyia-nyiakan ibadah kita kepada Allah.

Para fuqaha membagi halal ini ke dalam dua bagian, yaitu halal zat atau jenisnya dan halal cara memperolehnya. Makanan yang halal dari segi zatnya adalah semua makanan, kecuali bangkai (binatang yang mengembuskan nyawanya tanpa disembelih secara sah, kecuali ikan dan belalang), khamr (termasuk semua yang memabukkan), babi dan turunannya, binatang buas dan bertaring, binatang pemakan kotoran, darah yang mengalir, dan sebagainya (lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 173).

Sementara itu, halal dari segi cara memperolehnya adalah setiap makanan yang didapatkan dengan cara-cara yang dibenarkan agama, bukan melalui cara-cara yang batil dan merugikan orang lain, seperti mencuri, menipu, riba, dan sebagainya.

Sehingga pembahasan tentang vaksin akan masuk didalam pembahasan halal zat atau jenisnya. Sedangkan halal memperolehnya/tindakannya adalah sebagai imuniasasi dan sudah difatwakan oleh salah satunya fatwa Abdul Aziz bin baz dan difatwakan mubah dengan catatan bila tidak memanfaatkan atau pernah bersinggungan dengan zat haram mutlak sebelumnya.

Sedangkan ketayyiban produk vaksin sungguh masih sangat diragukan bila membaca beberapa jurnal berikut ini; Jurnal Toxicological Sciences melaporkan konsentrasi thimerosal untuk menimbulkan efek toksik adalah antara 405 µg/l – 101 mg/l atau setara dengan kadar merkuri 201 µg/l – 50 mg/l. Sedang bila dihitung rata-rata, bayi berumur 6 bulan mendapat akumulasi paparan merkuri maksimal dari vaksinasi sebesar 32 – 52 µg/kg berat badan. Pada perhitungan lebih rinci, angka ini hampir 4 kali lipat lebih rendah dari batas minimal tersebut. Tetapi masih belum jelas apakah paparan dosis rendah dalam jangka panjang akan mempengaruhi tingkat toksisitasnya. Analisis efek toksik thimerosal selama ini didasarkan pada efek metil merkuri, sementara yang terkandung adalah etil merkuri. Metil merkuri mudah terakumulasi di dalam tubuh karena waktu paruhnya panjang (sekitar 45 hari).

Akumulasi akan lebih tinggi pada bayi karena masih belum sempurnanya sistem ekskresi. Sementara pada Lancet bulan November 2002, Pichichero et. Al melaporkan ternyata ekskresi etil merkuri pada bayi berumur 6 bulan, 6 kali lebih cepat daripada metil merkuri (45 hari berbanding 7 hari), sehingga tingkat akumulasinya lebih rendah daripada yang diperkirakan. Hal ini memperkuat dugaan Magos bahwa etil klorida mulai menimbulkan risiko bila kadar dalam darahnya 1 µg/ml (1000 µg/l). Metil merkuri lebih cepat menimbulkan risiko karena ada mekanisme transmisi aktif difasilitasi oleh suatu asam amino sehingga cepat menembus sawar darah otak (blood brain barrier). Sementara etil merkuri, di samping tidak memiliki mekanisme transmisi aktif tersebut, juga berukuran molekul lebih besar dan didekomposisi lebih cepat daripada metil merkuri. Pada tataran klinis, hasil eksperimental di laboratorium oleh Baskin et al. melaporkan bahwa thimerosal merusak membran sel dan DNA serta memacu terjadinya apoptosis pada sel neuron dan fibroblast manusia.

Tetapi hasil pada hewan coba menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan diduga ada pengaruh faktor genetis karena hanya didapatkan sifat neurotoksisitas pada strain tikus tertentu. Journal of American Physicians and Surgeons melaporkan analisis terhadap data di VAERS (Vaccine Adverse Events Reporting System). Disebutkan, adanya paparan 75 – 100 µg merkuri dari vaksin yang mengandung thimerosal menimbulkan peningkatan 2 – 6 kali pada insiden gangguan perkembangan neurologis dan penyakit jantung dibandingkan kelompok yang mendapat vaksin tanpa thimerosal.

Vaksin sebagai produk 
MUI sebagai lembaga atau wadah menyatukan umat dalam keanekaragaman, memberikan nasehat dan fatwa. Ada 5 tugas pokok MUI yaitu;
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya);
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti);
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah);
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid;
5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar. Sehingga tak berlebihan bila MUI menjadi salah satu tolok ukur untuk memberikan kemantapan dalam menentukan pilihan pribadi.

Dalam peranannya itulah kemudian MUI memiliki Lembaga tersendiri yang berisi para peneliti dan ilmuwan untuk menelisik produk yang beredar dimasyarakat dalam kaitan kehalalannya.

LPPOM MUI (Lembaga pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) adalah lembaga bentukan MUI yang bertugas untuk memberikan informasi apakah produk itu halal atau belum. Maka apabila sebuah produk vaksin telah terjamin kehalalannya, pasti produk vaksin itu akan terdaftar di list sertifikasi halal LPPOM MUI. Jika tidak maka memiliki beberapa kemungkinan, antara lain;

1. Produk vaksin itu tidak lolos uji kehalalaan;
2. Produsen tidak mendaftarkan produknya untuk diteliti kehalalannya oleh LPPOM MUI.

Titik kritis tercampurnya bahan babi kedalam produk vaksin adalah pada proses penumbuhan virus, dimana setelah diambil dari tempat penyimpanannya, bibit virus dicairkan dan dihangatkan secara hati-hati pada keadaan tertentu.

Sejumlah kecil sel virus ditempatkan dalam sebuah “pabrik sel”, yaitu sebuah mesin kecil yang, dengan penambahan media yang sesuai, memungkinkan sel virus untuk berkembang biak. Media juga mengandung protein lainnya dan senyawa organik yang mendorong reproduksi sel virus. (proses ini memungkinkan unsur babi masuk dalam tahap pembuatan vaksin, jika protein yang dipakai berasal dari babi). Pertumbuhan sel virus sangat dirangsang dengan penambahan enzim ke medium, di mana yang paling umum digunakan adalah tripsin.

Enzim adalah protein yang juga berfungsi sebagai katalis dalam metabolisme dan pertumbuhan sel. Tripsin dapat diperoleh dari pankreas sapi atau babi, sehingga unsur babi juga bisa masuk pada proses ini jika dipakai tripsin yang berasal dari babi. Kemudian tahap berikutnya adalah tahap pemisahan dan pemilihan strain virus, dimana di tahap inilah titik kritis itu kembali dipertanyakan. Apakah dengan teknologi pencucian semacam filtrasi atau sentrifugasi unsur babi bisa terpisah sepenuhnya dari produk vaksin?

“Namun apabila kita meneliti lebih jauh, mendalam, hingga tingkat molekuler, dan berbicara pada tataran mekanisme reaksi, dengan dasar bahwa pada kenyataannya, seperti yang telah dipaparkan di atas, sebagian produk reaksi pertama, dimana molekul hidrogen dari produk reaksi pertama berasal dari serin yang ditransfer kepada histidin, lalu berakhir kepada gugus amina sebagai produk hidrolisis pertama, terintegrasi secara struktur sebagai bagian produk hidrolisis. Tentunya proses pencucian dan pembersihan total tidaklah memiliki arti apa-apa karena sebagian molekul (molekul hidrogen) yang berasal dari tripsin telah terintegrasi secara struktural sebagai bagian produk reaksi enzimatis.”

Kesimpulan yang diambil oleh Khomaini Hasan seorang peneliti dibidang biomolekular ini diambil berdasar keilmuannya.

Babi seperti yang muslim ketahui adalah salah satu yang haram dikonsumsi dan najis sifatnya. Tanpa terkecuali pada seluruh daerah dan bagian tubuhnya. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai darah daging babi dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas maka tidak ada dosa baginya.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . (QS. Al-Baqarah : 173)

Pendapat As-Syafi'i, bahwa kulit yang menjadi suci dengan disamak adalah semua kulit bangkai binatang, kecuali anjing, babi, dan spesies keturunannya. (Syarh Shahih Muslim, 4/54).

Najisnya babi bersifat ketetapan dari Allah SWT, baik lewat Al-Quran maupun lewat sabda Rasululullah SAW. Maka tidak ada illat apapun dari kenajisannya ataupun dari keharaman memakannya, kecuali semata-mata ketetapan dari Allah SWT.

Maksudnya, babi itu dianggap najis bukan karena alasan-alasan ilmiyah, seperti anggapan bahwa babi itu hewan yang kotor, mengandung banyak kuman penyakit, cacing pita, virus dan sebagainya. Semua itu memang mungkin saja benar, namun kenapa Allah SWT menetapkan sebagai hewan yang najis, tentu alasannya tidak ada kaitannya dengan hal-hal semacam itu. Maka alasan mengharamkan babi karena hewan itu kotor dan mengandung penyakit, tentu bukan alasan yang bersifat syar’i. Hakikat najis dan haramnya babi yang sebenarnya adalah semata-mata alasan syariah saja, yaitu karena Allah SWT sebagai Tuhan telah menetapkan bahwa babi itu najis dan haram dimakan.  

Perubahan Wujud ‘ain
Yang dimaksud dengan ‘ain suatu benda adalah wujud fisik hakikat dan dzat benda itu. Dan ‘ain suatu benda bisa berubah wujud dengan proses tertentu. Contoh yang sederhana adalah minyak bumi yang kita pakai untuk bahan bakar sehari-hari. Kita semua tahu bahwa minyak bumi berasal dari hewan yang hidup jutaan tahun yang lalu, lalu hewan mati dan terkubur di dalam tanah. Tentu kalau hewan itu mati, seharusnya menjadi bangkai.

Dan hukumnya bangkai tentu najis. Lalu kenapa kita tidak mengatakan bahwa bensin itu najis? Alasannya karena bensin itu sudah mengalami perubahan 'ain dari 'ain hewan menjadi ‘ain minyak bumi. Proses perubahan ‘ain suatu benda menjadi ‘ain yang lain disebut istihalah. Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa benda yang najis apabila telah mengalami perubahan ‘ain dengan istihalah, maka pada hakikatnya benda itu sudah berubah wujud. Sehingga hukumnya sudah bukan lagi seperti semula, tetapi berubah menjadi suci.

Jadi bila kita ikuti logika pandangan kedua mazhab itu apabila babi sudah berubah menjadi benda lain, misalnya menjadi tanah, garam, fosil, batu, atau benda lainnya yang sama sekali tidak lagi dikenali sebagai babi, maka hukumnya tidak najis. Dengan logika ini, insulin dan benda-benda kedokteran yang disinyalir berasal dari ekstrak babi secara nalar telah mengalami perubahan ‘ain lewat proses istihalah. Sehingga hukumnya tidak lagi najis.

Namun dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, meski pun benda najis sudah berubah ‘ain-nya dan beristihalah menjadi ‘ain yang lain tetap saja hukum najis terbawa serta. Dengan pengecualian dua kasus saja, yaitu penyamakan kulit bangkai dan berubahnya khamar menjadi cuka. Selebihnya semua perubahan ‘ain tidak berpengaruh pada perubahan hukum termasuk babi yang diekstrak menjadi insulin dan sebagainya.

Hukum Berobat
Rincian tentang masalah hukum berobat disampaikan oleh Syaikh Sholih Al Munajjid,
1- Berobat jadi wajib jika tidak berobat dapat membinasakan diri orang yang sakit.
2- Berobat disunnahkan jika tidak berobat dapat melemahkan badan, namun keadaannya tidak seperti yang pertama.
3- Berobat dihukumi mubah (boleh) jika tidak menimpa pada dirinya dua keadaan pertama.
4- Berobat dihukumi makruh jika malah dengan berobat mendapatkan penyakit yang lebih parah. (Fatawa Syaikh Sholih Al Munajjid no. 2148)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Berobat tidaklah wajib menurut mayoritas ulama. Yang mewajibkannya hanyalah segelintir ulama saja sebagaimana yang berpendapat demikian adalah sebagian ulama Syafi’i dan Hambali. Para ulama pun berselisih pendapat manakah yang lebih utama, berobat ataukah sabar. Karena hadits shahih yang menerangkan hal ini dari Ibnu ‘Abbas, tentang budak wanita yang sabar terkena penyakit ayan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 268) Ibnu Taimiyah melanjutkan, “Sekelompok sahabat Nabi dan tabi’in tidak mengambil pilihan untuk berobat. Ada sahabat seperti Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar tidak mau berobat, lantas sahabat lainnya tidak mengingkarinya.”  

Berobat dengan yang najis dan atau haram
Hadis yang melarang berobat dengan sesuatu yang haram/najis, misalnya sabda Nabi SAW,"Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376). Sabda Nabi SAW "janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram" (wa laa tadawau bi-haram) menunjukkan larangan (nahi) berobat dengan sesuatu yang haram/najis. Berdasarkan ini, sebagian ulama mengharamkan berobat dengan sesuatu yang haram/najis. (Walid bin Rasyid As-Sa'idani, Al-Ifadah Asy-Syar'iyah fi Ba'dhi Al-Masa`il Ath-Thibbiyah, hal. 14).  

Berobat bukan perkara Darurat
Kesembuhan tidak memiliki suatu sebab tertentu yang pasti. Tidak seperti rasa kenyang yang memiliki sebab tertentu yang pasti. Karena ada orang yang disembuhkan Allah tanpa obat, dan ada yang disembuhkan oleh Allah dengan obat-obat dalam tubuh –baik yang halal maupun haram-.

Terkadang obat dipakai tapi tidak membawa kesembuhan, karena ada syarat yang tak terpenuhi atau adanya penghalang. Tidak seperti makan yang merupakan sebab rasa kenyang. Karenanya Allah membolehkan memakan barang haram bagi orang yang mudltor (terpaksa) ketika terpaksa oleh kelaparan, karena rasa laparnya hilang dengan makan dan tidak hilang dengan selain makan. Bahkan bisa mati atau sakit karena kelaparan. Karena (makan) adalah satu-satunya jalan untuk kenyang, Allah membolehkannya.

Tidak seperti obat-obatan yang haram ( bukan satu-satunya jalan untuk sembuh). Bahkan bisa dikatakan bahwa berobat dengan obat-obatan yang haram adalah tanda adanya penyakit dalam hati seseorang, yaitu pada imannya.

Karena jika ia adalah bagian dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang beriman, maka Allah tidaklah menjadikan kesembuhannya pada apa yang diharamkan.Oleh karena itu, jika ia terpaksa makan bangkai atau sejenisnya, wajib baginya untuk memakannya menurut pendapat yang masyhur dari keempat imam madzhab. Sedangkan berobat (dengan barang halal sekalipun), hukumnya tidak wajib menurut sebagian besar ulama.

Bahkan mereka berbeda pendapat, apakah yang lebih afdol berobat atau meninggalkannya karena tawakkal. Dan diantara dalil yang memperjelas hal ini, ketika Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi dsb, Dia tidak menghalalkannya kecuali untuk orang yang terpaksa (mudltor) dengan syarat tidak berlebihan dan tidak dalam keadaan maksiyat, sebagaimana disebutkan dalam ayat : (( Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.)).

Dan kita ketahui bahwa berobat tidaklah termasuk kategori terpaksa, sehingga tidak boleh berobat dengannya. Adapun barang haram yang dibolehkan karena hajah ( kebutuhan )-maksudnya dibolehkan tidak hanya karena dlarurah ( keterpaksaan ) – seperti memakai sutera, telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi memberikan rukhshah ( keringanan ) bagi Zubair bin ‘Awwam dan Abdurrahman bin ‘Auf radliyallahu ‘anhuma untuk memakai sutera karena gatal pada tubuh beliau berdua. Ini boleh menurut pendapat yang benar di kalangan ulama karena memakai sutera hanya diharamkan jika dalam keadaan tidak perlu.

Karenanya dibolehkan untuk wanita mengingat kebutuhan mereka untuk berhias dengannya, dan dibolehkan bagi mereka untuk menutup aurat dengannya tanpa pengecualian. Demikian pula kebutuhan untuk berobat dengannya. Bahkan hal itu mestinya lebih dibolehkan lagi. Sutera diharamkan karena unsur berlebih-lebihan, pamer dan kesombongan. Unsur-unsur ini tidak ada ketika ada kebutuhan. Demikian pula boleh memakai sutera karena dingin, atau karena tak punya penutup aurat selain sutera. [Majmu’ Fatawa 24/266-276].  

Kesimpulan
Keempat anakku hanya dua yang terakhir yang benar benar tidak tersentuh oleh vaksinasi, Alhamdulillah tidak juga memiliki perbedaan signifikan dari dua kakaknya yang terpapar vaksin. Tiada masalah kesehatan yang berarti yang pernah dialami. Bila menurut penulis buku Smart Patient batas seorang anak dikatakan memiliki imunitas yang kurang adalah apabila dalam satu tahun terserang sakit lebih dari dua belas kali, maka aku bersyukur seluruh anak-anakku hampir jarang sakit setiap bulannya sepanjang tahun. Allah masih melindungi kami, insyaAllah.

Semua yang kutulis diatas hanyalah opini, bukan karena merasa paling ahli atau mengetahui segalanya. Hanya saja definisi ahli yang tersemat indah dalam perintah Allah, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43] adalah mereka yang;

a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh,
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.

Sedangkan diri ini tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.