Aku dan Motorku


Sebenarnya tidak juga bisa dikatakan hobi, hanya karena dulu bapak adalah pegawai rendahan yang hanya mampu memiliki motor, maka kesenangan itu bermula. Mengendarai motor tidaklah menjadi pilihan bagi sebagian orang saat ini, saat mampu memiliki kendaraan yang lebih mewah. Sudah lewat masa kejayaan kendaraan roda dua ini membelah jalanan, namun tidak bagi saya.

Probolinggo ke Jogjakarta hampir pasti telah menjadi rutinitas bulanan bagiku dan bagi bapak dulu dengan motor butut yang dah tak muda lagi. Bukan tentang tujuan yang membuatku begitu bahagia, namun tentang perjalanannya itu sendiri. Duduk diatas jok motor dan merasakan angin, istirahat di pom bensin ataupun masjid ataupun warung yang terserak di sepanjang jalan, melihat aktivitas masyarakat di pinggir jalan. Pengalaman yang tak kan pernah terlupakan, bahkan telah mengurat nadi. Hingga rasa itu pun selalu ingin terulang.

Mengendarai motor tidaklah semenarik mengendarai kendaraan roda empat, apalagi di kultur Indonesia yang mengedepankan materi sebagai patokan kemakmuran. Motor identik dengan kendaraan kaum proletar, walau sebenarnya ada jenis motor tertentu yg harganya malah jauh lebih tinggi dari kendaraan roda empat. Namun mind set sudah terlanjur terbentuk, bila anda naik motor meskipun duit anda ga berseri, anda akan terlihat seperti tukang ojek.

Pernah naik kuda? Atau onta? Burung onta deh? Belum semua? Sama, saya juga. Hehehe...

Namun setidaknya saya pernah naik gajah di Taman Nasional Way Kambas kala itu, menyusuri sungai dan hutan. Menapaktilasi para pawang gajah membawa gajahnya ke dalam hutan untuk mencari kayu atau memburu babi. Para pawang dan gajahnya ini diharuskan memiliki ikatan, agar mereka dapat melaksanakan tugas dgn baik. Pawang dan gajahnya bukan lagi seperti tuan dan peliharaannya, lebih mirip bapak dan anaknya, atau kakak dan adiknya.

Motor bagiku seperti kuda, onta, burung onta ataupun gajah. Walaupun motor barang mati dengan memperlakukan sebaik-baiknya maka motor seperti mengikuti apa yang kita mau. Setidaknya kalau pecah ban tepat di depan tukang tambal ban, atau kalau macet tepat didepan bengkel motor. Kadang ketika berkendara sendiri di atas motor sering ngobrol sendiri padahal sebenarnya sedang pura-pura berbincang dengan si motor buluk ini. Membangun ikatan walau sebenarnya tak ada yang bisa dibangun.

Dalam perjalanan motor kuperlakukan seperti teman perjalanan, kalau dia kehujanan ya saya juga kehujanan. Kalau dia tersengat terik mentari maka segera kuteduhkan, walau sebenarnya dia juga tak merasakan panas. Hanya sebuah ikatan yang berusaha dibangun agar perjalanan tak begitu sepi dan hening.

Mungkin ikatan itulah rahasia yang membuat setiap perjalananku diatas motor begitu nikmat. Tak peduli apa dan dimana tujuan, ketika melayang di atas motor merasakan angin dan sinar mentari adalah adrenalin yang mencandu. Tak peduli hujan atau pun kabut, nikmat itu serasa tak tergantikan.

4 komentar:

  1. yang jelas motor lincah banget membelah kemacetan mas ichang :D

    BalasHapus
  2. @ninda kalo yg bikin macet motor juga, mah ga berguna motor.. hehehe

    BalasHapus
  3. Aku juga lebih milih motor daripada roda empat... enak cepet nyampek

    BalasHapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.