Belahan Jiwa

Bahagianya hari tidaklah mungkin ditakar dari surutnya cahaya mentari, indahnya malam tidak pula diukur dari ada dan tiadanya gemintang. Aku hilang di antara keramaian, bercanda dengan fikiranku sendiri.Memandangi bayangan, dengan dinginnya rasa.

Mentari masih bersinar dengan teriknya namun tak jua kurasakan hangatnya. Kutunggu malam tiba semoga gemintang bisa memberikanku keindahan, walau diujung langit kulihat awan hitam berarak.

Ku tak berharap hujan kembali datang, namun bukankah hujan adalah pertanda bahwa pekat akan segera hilang? Namun kini disekujur kulit telah kurasakan rintik air di udara, walau sebenarnya hujan belum datang. Awan hitam masih bergayut di kaki langit. Setia menunggu angin yang akan menghantarkannya ke tanah kering bebatuan.

Aku berdiri di persimpangan, merendah bersamai pioni. Menatap dengan mata yang berdebu, badai akan segera tiba. Menentukan hendak kemana hati ini akan dibawa. Menunggu setiap kata agar dapat kutahan rintihan lidah dan gelegarnya ucapan.

Tak peduli setajam apa hempasan hujan, aku akan tetap berjalan. Walau sakit, walau perih, karena di persimpangan itulah aku akan menunggu saat mentari kembali menyala.

Belahan jiwa....
Apa kabarmu disana?
Adakah engkau baik-baik saja?
Bila mendung menggelayuti langitmu, aku akan basah untukmu.
Kita akan duduk di bangku itu, dan memandang pelangi hingga mentari tak lagi bersinar.
Bersama.....
Hingga bosan hujan mengguyur
Hingga enggan mentari bersinar
Hingga lelah awan hitam menaungi
Hingga tiba waktu berhenti.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.