Ini Syi'ar, Bukan Lagi Individu

Ada yang nyeletuk “yang begitu gusar justru yang berdomisili diluar Serang”, Perihal penerapan Perda No.2 tahun 2010 mengenai Penyakit Masyarakat. Sudah sangat viral di media elektronik maupun media sosial tentang Ibu-ibu buta huruf yang membuka warung makannya di siang hari, karena yang bersangkutan tak bisa membaca selebaran dari Pemerintah Daerah setempat mengenai pelarangan membuka warung disiang hari saat Ramadhan. 

Padahal Masyarakat Serang beserta konstituen yang terkait justru adem ayem, MUI nya menanggapi dengan bijak, Pemerintah Daerahnya menerapkan peraturan dengan tetap menjunjung kemanusiaan. Sungguh informasi yang sepenggal dapat memberikan hasil output yang salah kaprah.

Kemudian menjadikan opini yang berkembang, dibarengi dengan pemberitaan yang masif. Entah media menjadikannya berita atai penggiringan opini. Yang pasti di masyarakat telah terlanjur terbentuk dua kubu dalam perang opini tersebut. 

Opini yang berpihak kepada si ibu baik dengan alasan toleransi, juga dengan argumen bahwa Muslim yang berpuasa tak seharusnya tergoda dengan warung makanan yang dibuka di siang hari. Beberapa pihak yang menjadikan toleransi sebagai landasan untuk mendukung si ibu pemilik warung, dengan segera dan tanggap membuka donasi untuk meringankan beban si ibu, yang kabarnya donasi itu telah mencapai 200 juta. Menjadikan setiap warung berlomba-lomba untuk membuka warungnya di siang hari, dengan harapan akan ada satpol PP yang akan menerapkan konskuensi Perda itu bagi warungnya dan mendapat donasi juga. Mbok ya, saya juga punya warung...

Sedangkan opini yang mengusik panca indera saya, justru opini yang membawa keimanan dalam hal puasa. Begitu lemahnyakah tingkatan orang berpuasa sehingga ada warung buka di siang hari saja sudah tergoda? Puasa macam apa yang tak tahan godaan aroma makanan? Terus kalau setiap godaan di bulan Ramadhan di hilangkan, apa yang kalian rayakan sebagai sebuah kemenangan di hari iedul fitri kelak?

Saya ga mengatakan opini ini benar, namun saya juga sedikit terusik dengan pengambilan sudut pandang opini-opini tersebut. Tidak salah opini-opini tersebut bergulir, hanya saja konteksnya bukan untuk penutupan warung, tapi untuk muhasabah diri dalam konteks yang lebih besar yaitu jalan menuju ketakwaan. Justru opini semacam ini akan sangat cocok bila digandengkan dengan ayat Quran berikut ini. 

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”. “Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” [Al ‘Ankabut: 2-3].

Sungguh setiap muslim itu akan diuji tentang kadar keimanannya, tak akan luput semuanya. Hanya saja kita kadang sulit membedakan mana yang ujian mana yang bencana. Maka opini-opini diatas bukanlah opini yang menyudutkan, bukanlah opini yang nyinyir, ngenyek atau dangkalnya berlogika. Opini-opini itu hanyalah salah tempat, salah konteks dan salah peruntukannya. Sejujurnya siapapun yang beropini seperti itu dia sedang menanyakan kepada dirinya sendiri. Terlalu personal untuk membahas siapa yang menulis opini itu karena jawabannya ada di dalam diri mereka sendiri.

Konteks mengenai Warung makan yang buka di siang hari bukanlah mengenai individu dan keimanannya, namun tentang syiar islam. Allah berkata dalam Quran, 

“Janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan maksiat.” (QS. al-Maidah: 2)

Sekalipun bukan kita pelaku maksiatnya, namun islam melarang kita untuk membantu ataupun memfasilitasi agar maksiat itu terjadi. Puasa Ramadhan adalah kewajiban, siapapun yang tidak melaksanakannya tanpa uzur maka dia telah melakukan maksiat bahkan bisa jatuh ke dosa besar. 

Membuka warung di siang hari bukan lagi masalah individu dan kualitas keimananya, namun masalah memfasilitasi untuk perbuatan maksiat. Sekaligus menyurutkan syiar-syiar islam dalam masyarakat. 

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (QS. al-Hajj: 32)

Bulan ramadhan, termasuk syiar islam. Di saat itulah, kaum muslimin sedunia, serempak melakukan puasa. Karena itu, menjalankan puasa bagian dari mengagungkan ramadhan. Hingga orang yang tidak berpuasa, dia tidak boleh secara terang-terangan makan-minum di depan umum, disaksikan oleh masyarakat lainnya. Tindakan semacam ini, dianggap tidak mengagungkan kehormatan ramadhan.

Dulu para sahabat, mengajak anak-anak mereka yang masih kecil, untuk turut berpuasa. Sehingga mereka tidak makan minum di saat semua orang puasa. Ini syiar islam, dan sekali lagi ini bukan konteks individu dan keimanannya.

2 komentar:

  1. lagi rame dibicarakan y mas. tapi tidak bisa dipungkiri, semakin ke sini semakin banyak orang yang menggunakan berbagai alasan untuk tidak berpuasa. semoga kita terhindar dari yang demikian. amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Sekali kali bahas yg lagi booming bu.

      Hapus

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.