Daun-Daun Yang Menanggalkan Diri Dari Tangkainya


‘Memintarkan orang soleh itu jauh lebih mudah daripada, mensolehkan orang pintar.’ Sepenggal kalimat dari seorang ustadz yang memberikan ceramah rohani di salah satu ruang kantor yang kini kutempati. Begitu dalam dan butuh beberapa saat untuk kucerna, disaat yang sama terlintas wajah anak-anakku. Kucoba kukaitkan antara kalimat itu dan wajah-wajah mungil yang kini barangkali sedang menikmati masa bermainnya.

Jejak-jejak jemari di dinding, atau pecahan-pecahan keramik di beberapa bagian lantai rumah tak kan pernah kuhilangkan. Tak jua terbersit untuk merenovasi serpihan-serpihan memori itu dari sudut rumah ini. Di setiap kamar, di setiap perabot ada terserak tawa canda mereka. Di bingkai jendela, di daun pintu ada tertinggal air mata sendu mereka. Biarlah bekas itu tetap menghiasi rumah ini selamanya.

Di setiap subuh hari, ada lantunan tilawah dari mulut-mulut mungil. Bukan tanpa permulaan, yang pasti disetiap malas mereka ada tarikan selimut kami, ada percikan air diwajah kantuk mereka.

Di setiap adzan berkumandang, jerit panggil kami yang mengganggu riang waktu main mereka. Bukan tanpa perjuangan, namun lelah lalai kami, harap memiliki arti di kehidupan mereka.

Di setiap wajah ketidakpuasan mereka, ada hentakan yang akan membuat mereka sadar. Bukan tanpa perlawanan, namun kami ingin mereka memiliki karakter yang dimiliki para orang soleh di awal usia mereka. karena mengisi kepala dengan ilmu dunia sangatlah mudah saat hati-hati mereka telah tertaut dengan iman, dan iman dapat dipatri dengan kebiasaan.

Saat serambi hati mereka terisi dengan kebiasaan yang akhlakul karimah, beban berat tidaklah selesai tertanggung. Karena anak-anak ini bukanlah seperti mangga yang diperam, yang dipaksa matang didalam ruang pengap, sempit dan gelap. Mereka adalah anak-anak zaman yang harus berkembang sesuai zaman yang mereka tapaki.

Namun tak bisa dipungkiri, di luar area rumah adalah wilayah yang tidak bisa dengan mudahnya dikontrol dan dikendalikan. Ada banyak sekali impuls yang akan membuat pemikiran dan penafsiran mereka akan kehidupan mereka sendiri teralihkan dari yang selama ini kutanamkan. Saat itu terjadi, ingatankau menerawang ke sebuah kalimat yang diberikan ibu dulu. ‘seperti engkau memegang mainan ular-ularan, biarkan kepalanya bergerak kesegala arah namun peganglah erat ekornya!’

Semakin sulit memang merangkum isi hati dan kemauan kepala anak-anak yang beranjak dewasa. Seperti mengisi balon dengan cat beragam warna, dan kemudian kita tak akan pernah bisa menebak warna apa yang akan keluar terlebih dahulu. Besar kemungkinan justru warna warna cat itu akan memunculkan warna baru yang jauh lebih indah dari warna apapun yang pernah kita masukkan.

Entah pengambilan buku raport yang keberapa kalinya yang tak bisa kami datangi lengkap ibu dan bapak. Sebab undangan yang diberikan adalah ditujukan kepada kedua orang tua, namun rata-rata yang ada diruangan kelas ini didominasi oleh ibu-ibu. Hanya 3 orang bapak bapak yang nongol menjadi pembeda.

Kali ini semangatku membara untuk ambil buku raport gadis sulungku, sebab setelah ini langsung menuju ke lokasi sekolah lanjutan yang diidam-idamkannya. Setelah seminggu yang lalu kami bertiga mengikuti test masuknya. Sebentar lagi gadis sulungku sudah SMP, waktu terasa hanya melewati kami. Seperti menyaksikan balapan di lintasan balap, kami hanya duduk di salah satu spot sedangkan para pembalap melewati kami dengan kencangnya. Kemudian termangu lagi, hingga pembalap melintasi kami lagi, berulang ulang setiap lap hingga finish tiba tiba mengakhiri semuanya.

Begitupun saat ku baca sebuah kertas pengumuman yang membuat jemariku tak sabaran tuk merobek ujungnya dan sedikit mengintip kata yang tertera didalamnya, DITERIMA ataukah BELUM DITERIMA.
 Tiba-tiba memori masa kecil gadis beliaku ini memenuhi isi kepala, sejak pertama kali kepala mungilnya kudekap didadaku, saat pertama kali menjejakkan kaki, saat pertama kali bisa mengayuh sepedanya, saat masuk sekolah beberapa tahun yang lalu. Semua hanya lewat seperti ku menyaksikan pembalap dari salah satu kursi tribun penonton. Berkelebat dengan cepat kemudian menghilang.

‘bapak, apakah putrinya sudah puber?’ Saya benar benar terbata menjawab pertanyaan dari salah satu pewawancara test masuk salah satu sekolah SMP ini. Pertanyaan yang sama sekali tak terlintas dipikiran untuk kusiapkan jawabannya. Pertanyaan ini bobotnya sama kayak dulu calon mertua menanyakan kepadaku, ‘apakah kamu siap menerima tanggung jawab membahagiakan anakku?’

Bukan karena ketidak tahuanku akan keadaan putriku. Bukan pula karena aku malu sebab aku adalah lelaki sedangkan dia adalah perempuanku. Namun angan-anganku kembali tercekat, putri sulungku sudah beranjak dewasa, dia bukan lagi gadis kecil yang dulu kugendong kemana saja dan kubanggakan sebagai penerusku.

Mungkin sebentar lagi, aku akan menerima penolakan darinya. Karena isi kepalanya sudah tak lagi sejalan dengan isi kepalaku, dan egonya sudah mampu untuk berkata ‘tidak’ kepadaku. Sebentar lagi keinginannya sudah berdiri sendiri, nasehatku barangkali hanya sepintas lalu. Dan sebentar lagi peranku mungkin bukan lagi bapaknya, tapi lebih sebagai sahabatnya. Peran baru yang kucoba tuk kujalani dengan meraba-raba, seperti apakah dunia wanita itu.

Mungkin ketika saat itu tiba, aku akan mundur selangkah. Akan ku persilahkan ibundanya menjadi sahabat terbaiknya, aku akan menjadi pelindungnya saat ada seorang lelaki yang mengetuk pintu rumahku dan meminta ijin untuk bertemu dengannya. Aku akan menjadi sopirnya saat dia memintaku untuk mengantarkan bersama teman-teman wanitanya. Aku akan menjadi penggemar rahasianya saat sepucuk surat dari salah seorang temannya mampir di alamat rumah.

Saat itu tiba, aku mungkin akan menyesali telah kehilangan banyak waktu membersamainya saat kecil dulu. Akan kuserahkan tugas sebagai ‘roomate’ kepada bundanya, karena perasaan wanita lebih terkait terhadap sesama wanita. Aku menyadarinya dan aku relakan itu semua. Mungkin sisa-sisa keberadaanku akan ada di dalam setiap shalat dan doaku.

Ah, mungkin aku terlalu baper memikirkan hal-hal yang terlalu jauh. Si sulung baru mau masuk SMP, belum juga puber. Namun pikiran ini selalu saja melayang layang setiap kali si sulung berganti jenjang sekolah. Saat lulus TK dan mau masuk SD pun dulu begini, sekarang hendak masuk SMP malah makin menjadi. Ketika masuk SMA barangkali saya ga ikut mendaftarkan saja, biarkan bundanya yang bergerak, daripada air mataku tumpah nanti di sekolahan. Berabe...

Apatah lagi nanti saat ada seorang lelaki yang meminang dirinya, bisa nangis 7 hari 7 malam (bung ahay version...). namun saat-saat itu pasti akan tiba, bila Allah memberiku umur panjang maka keadaan itu harus ku persiapkan sejak dini. Namun jika tiba saatnya berpisah, rasanya tak kuasa kami mencegahnya seiring tak kuasa kutahan apa yang menjelang di depan.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.