Dan ku cukupkan diriku hanya untukmu
Dia yang membelai temaramnya sisi hidupku
Dan membersamainya hingga ke lorong tergelapku
Dia yang datang membawa pucuk-pucuk rindu
Dan meminta hujan agar tak segera berlalu
Dia yang ada dikala gelegar halilintar bertalu
Dan bersedegup menghangatkan laraku
Dia yang menyemai bahagiaku
Dan membesarkannya dengan bahasa kalbu
Dia yang merenda pinggiran kelambu
Dan merajut angin dari segala penjuru
Dia, dan hanya dia
Hingga waktu tak lagi mengenali keberadaanku
Saat itu malam belumlah terlalu malam, suara binatang malam pun belum bersahutan. Namun dingin seperti tak hendak beranjak barang sejengkalpun dari kulitku. Walau harus dibilang malam yang sungguh romantis, momen itu pun telah sirna karena rembulan saat bulat bulatnya justru telah pudar di malam yang lalu. Yang tersisa hanya mendung dan angin yang menggesek pucuk-pucuk daun bambu di depan halaman rumah.
Di dalam bilik yang terdalamku, pendaran lampu bohlam 10 watt menyisir tiap-tiap sudut ruangannya. Meninggalkan bayangan dibalik beberapa benda yang tak beraturan, setia bayangan menunggui objeknya sepertiku yang tak beranjak tentang apa adanya dia. Cekikikan empat anak manusia didalamnya, kadang jeritan ketidakpuasan dari sibungsu menambah nada yang tercipta. Tetaplah menjadi anak manusia sepanjang hidupmu nak! Karena bapakmu dan ibumu juga anak manusia. Karena jaman ini sungguh aneh sering menjadikan anak-anak jaman menjadi robot dan zombi.
Dia duduk di kursi reot tak berbusa itu, memandangi laron yang berterbangan disekitar lampu. Tak butuh lagi lampu itu dihias dengan aksesoris mahal, laron itu menjadikannya seperti lampion mahal yang berpendar dikelilingi planet-planet dan satelit-satelit. Namun tidak dimatanya, karena dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Memandang apa yang tak dapat kulihat, meski akus endiri sedang disampingnya memandangnya dengan penuh takjub. Dia yang tak pernah tertidur sebelum matahari tenggelam, dia yang kabarnya memiliki tenaga yang tak setangguh para bapak namun snaggup bertahan hingga tengah malam saat si bapak tak sanggup lagi terjaga.
Dia sedang memegang kenyataan bahwa dirinya berada dalam ketidak berdayaan akan perasaannya sendiri. Namun begitulah Tuhan melebihkan sebagiannya atas sebagiannya para lelaki. Maka dengan perasaannya itu lah dia berkomunikasi dengan hatinya. Dia tidaklah sempurna dan dialah yang terbaik dari semuanya, saat kusadari itu saat itulah aku diam. Maka jelaskanlah pada malam tentang apa yang kau rasa, berceritalah kepada rembulan saat tiada yang mampu mendengar, berdirilah dengan lemah gemulai laksana daun-daun bambu itu, niscaya angin akan segera berlalu.
Tidurlah saat lampu dimatikan, lepaskan sayap-sayap letihmu mungkin dengan begitu malam kembali indah dan rembulan akan segera datang. Bermimpilah, barangkali esok tiada lagi akan tersimpan kecemasan dan gundah gulana!
terima kasih informasinya
BalasHapusVisit Us