Mengencingi Norma



Minggu pagi, pasar tradisional, pedagang asongan dan lumpur beraroma menyengat. Inilah suasana kampungku, wajah masyarakat madani yang mendiami rumah-rumah pedesaan. Bila wajah tata moral bisa dilihat dari keanggunan masjidnya, wajah sosial peradaban bisa dipandang dari ngumpulnya para tetua di pos kamling desa, maka wajah budaya bisa diperhatikan dari interaksi nya di pasar tradisional.Teriakan penawaran harga, lemparan barang komoditi, dan suara recehan bergemericik menimbulkan persepsi kemajemukan yang menggambarkan ke loh jinawian susunan budaya.

Duduk di ujung los-los pasar yang terbengkalai, keramik putih namun tak berpenghuni, sedikit berdebu menjadi tempat istirahat para tengkulak yang akan memunguti ‘pajak’ dari para pedagang di sepanjang pasar. Bersama beberapa anak-anak kecil yang membawa kantong plastik merah yang mereka jajakan dengan harga yang lumayan. Bercanda diantara mereka yang telah menyusuri pasar dengan telanjang kaki berlumpur ria sejak subuh menjelang.

Tak berapa lama seorang ibu membawa putra kecilnya ke ujung pasar itu tepat didepanku berdiri sepetak bangunan yang digungsikan sebagai WC Umum. Putra ibu itu menggambarkan mimik sedikit tertekan entah karena panggilan alam diujung kesabarannya, ataukah menahan dongkol akan sentakan gemas ibunya yang tak ingin terganggu oleh rengekan putranya ketika menawar barang.

Pintu WC umum tinggal beberapa langkah lagi, namun si ibu memilih menurunkan sikecil di luar WC umum itu dan mendudukkannya seakan memberi komando untuk melucuti celananya dan ... cuuurrr! Lega, si anak berubah rona wajahnya. Si ibu hilang tekanan kerut wajahnya, selesai sudah gangguan kecil itu pikirnya.

Tak ada yang memperhatikan, bahkan bapak tua penjaga wc umum itu juga tak peduli. Si anak kembali ceria dan mengikuti kemana saja ibu memaksanya ikut. Biasa saja, tak ada yang aneh. Itu hanya kejadian biasa yang ada disekitar kita. Pembiasaan itu membuat norma-norma baik dimasyarakat dan budaya sopan santun kewajaran hilang seperti tak berbekas.

Hati kecil tak lagi peka dengan ketidak sesuaian norma, akal pikiran tak lagi bekerja sewajarnya ketika desakan akan kebutuhan menjadi penguasanya. Orang-orang telah berhasil pergi ke bulan namun kadang gagal untuk mengunjungi tetangganya. Banyak dari orang itu berhasil menemukan dimana tempat terbaik menyimpan harta bendanya, namun tak pernah berhasil dimana membuang sampah hidupnya.

Berfikiran luas, namun berperilaku sempit, pandai mendapatkan kekuasaan namun lupa meletakkan norma pada tempatnya. Selalu bergerak maju namun tak bisa menoleh ke kanan dan kiri.

2 komentar:

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.