"I don't see
writing as communication of something already discovered, as 'truths' already
known. Rather, I see writing as a job of experiment. It's like any discovery
job; you don't know what's going to happen until you try it." (William
Stafford, poet)
Aku sedang malas membaca
akhir-akhir ini, mungkin itu sebabnya ide menulisnya juga ga ada yang
teraplikasi. Padahal buku buku baru tak henti bertengger di rak buku rumahku,
belum terselesaikannya buku ust. Rahmat Abdullah, Biografi Ustadzah Yoyoh Yusroh,
Novel Muhammad Sang Penggenggam Hujan, dan beberapa buku yang lain membuat
beberapa buku ringan lainnya semakin tak terpegang.
Ini pasti gara-gara beberapa
event olah raga yang kujalani selama kurun waktu dua bulan terakhir. Ajakan
kompetisi bulu tangkis untuk menghormati senior yang hendak pensiun, ajakan
bulu tangkis dari komunitas, kompetisi futsal hingga event Fun bike yang juga
menguras banyak tenagaku. Walau tak sedikit pun menguras RAM otakku, tapi
ketika stamina terkuras bahkan RAMnya pun tak mau bekerja maksimal. Bahkan untuk
diisi data sekalipun, daripada ntar hang mending ku buat tidur #excuse.
Ketika event berlangsung memang
tak akan bisa disambi baca buku, namun setidaknya beberapa moment seharusnya
bisa menjadi pencetus ide. Karena memang begitu caraku menulis, dan dengan
pengalaman empiris menjadikan awal terbentuknya metafora dalam gaya
kepenulisan. Aku menyukai menulis dengan gaya metafora dimulai sejak
ketertarikanku membaca kolom opini kecil di sebuah harian lokal Lampung Post. Ada
sebuah kolom kecil yang biasanya ada di ujung atas kiri halaman muka, dengan
tajuk Buras. Kolom ini adalah kolom opini bebas yang khusus diberikan ke pada
sang pemimpin redaktur.
Sang pemimpin redaktur ini selalu
memberikan opini tentang kejadian dan fenomena di sekitar masyarakat, menyampaikannya
dengan gamblang dan jelas walau mungkin setiap edisinya tak lebih hanya sekitar
10 paragraf, dan panjang kolom ini tak lebih dari 10 centimeter. Yang membuatku
begitu tertarik setiap membacanya bukanah topik-topik yang dibawakannya namun
caranya membawakannya yang bergaya metafora walau kadang menggunakan dialog dua
tokoh fiktif. Namun pemanfaatan situasi minor untuk menggambarkan kondisi
global sangat mengena dan to the point.
Gaya menulis metafora inilah yang
kemudian membentuk gaya kepenulisanku yang acak adut, yang awalnya hanya cerita
kosong menjadi ada makna. Yang mulanya hanya dialog ringan menjadi canda yang
berisi. Dalam sebuah panel kepenulisan aku pernah mengajukan sebuah pertanyaan
kepada ibu Laila S. Chudori, salah satu editor senior majalah Tempo. “Apa yang dibutuhkan seorang penulis dalam menulis
metafora?” beliau menjawab “Kepekaan
terhadap lingkungan.”
Menulis bagiku adalah seperti
berak, aku harus mengeluarkannya bila masih ingin mengisi perutku. Kalau aku
tak bisa berak setelah kuisi perutku, maka tentu ada masalah di dalam perutku.
Menulis adalah out put setelah begitu banyak input masuk lewat indera, mata,
telinga, otak dan hati. Ketika sleuruh informasi telah masuk melalui banyak
indera tersebut dan tidak segera di jadikan outcome maka bisa dikatakan ada
masalah dengan sistem karya indera.
Di lain sisi menulis adalah
memperkenalkan nama ku ke pada dunia, suatu saat tulisanku akan dibaca dan saat
itulah namaku akan dikenal ketika ku hidup ataupun ketika kumati. Menulis juga
seperti aku membuat Kartu Tanda Penduduk di catatan sipil, membuat identitasku
untuk dikenal oleh khalayak. Hanya saja ketika menulis aku memperkenalkan
identitasku kepada sejarah. Sejarah hidupku, sejarah keluargaku dan sejarah
seluruh manusia yang pernah terhubung denganku.
Bila aku ingin mendebat sesuatu
tanpa ingin ada seorang pun menyanggahnya, maka aku akan menulsikannya. Menulis
hanyalah sebuah pengganti untuk komunikasi. Mungkin diary adalah sebuah karya
tulis yang sangat hebat yang hanya orang yang peduli saja yang akan membacanya.
Sepertinya aku harus mulai menulis,mulai
lebih peka terhadap lingkungan dan mulai sekarang!
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.