Pagar besinya telah berkarat, diujung-ujungnya rapuh hampir
menggeliat ketika kupegang dan kudorong. Menyisakan sedikit ruang agar dapat
kulewati. Halamannya meranggas, ditutupi ilalang yang tak lagi kompak warnanya.
Sedikit hijaunya dan semakin luas kerontangnya, di ujung dalamnya tinggi
ilalang menutup sebagian temnok suramnya. Di bagian terluar porak poranda oleh
hujan semalam, semakin merana kala sendal-sendal beberapa orang menginjak-injak
pinggirnya.
Ubin terasnya berwarna merah maroon, kelam karena debu yang bercampur
air hujan yang telah mengering. Membuat pola abstrak terlihat indah dari
kejauhan berpadu antara warna maroon dan coklat debu, namun menjijikkan ketika
kudekati karena tahi ayam pun ikut memeriahkannya.
Tempat wudhu yang menjadi tempat ‘ritual’ wajib untuk
melakukan shalat seharusnya adalah awal dimulainya kesucian tempat ibadah itu. Namun
tidak demikian, airnya begitu minim, selokannya tersumbat dan daun kering
memenuhi ruangan ritual itu.
Seorang muadzin memperdengarkan suara mendayunya memanggil
para pekerja tuk segera menghentikan aktifitasnya dan segera memenuhi panggilanNya.
Bersegera, mengayuh asa menjejakkan kaki di dalam rumahNYA.
Hingga muadzin menyelesaikan seruannya, kakiku melangkah
memasuki pintuNYA. Sembari meminta rahmatNya pada setiap pintu Masjid yang
kubuka. Jarakku dengan mimbar hanyalah terpisahkan tiga shaf, hanya ada seorang
muadzin di depanku. Tiap shaf ini diisi para malaikatMU.
Lantang ku dengar imam meneriakkan takbir, membuat ruangan
itu bergema karena begitu lengang adanya. Semarak kudengar dentuman besi dari
bengkel di sampig masjid ini, lamat terdengar teriakan para kondektur mencari
penumpang. Di ujung sana melalui celah kecil terlihat para tukang becak
menyandar santai dibawha pohon, lalu lalang juga para asongan dan parlente
berdasi. Acuh......
Salam kutolehkan ke kanan, hanya ada 2 orang pemuda yang kulihat,
kemudian salam kuucapkan ke kiri seorang kakek tua yang sudah memutih rambutnya
dan seorang bocah kecil yang belum genap gigi depannya. Seorang bermukena putih
diujung paling belakang komat-kamit merapalkan doa. Siang itu terik menerpa, namun
keteduhan amsjid kecil ini tak mampu meraih minat manusia di luar sana.
Masjid kecil ini begitu mungil di sela-sela ketiak gedung bertingkat,
semakin mungil ketika ditinggalkan penghuninya. Masjid lusuh itu berdiri
menantang tegapnya pusat perbelanjaan, semakin kumal ketika para penghuninya
enggan mendengar seruanNya.
suka cara mendiskripsikan nya, detil terbayang, seakan ikut berada di sana,
BalasHapuscm ceritanya sedih dan pilu
karena kondisinya yg menyedihkan makanya selalu terbayang dna tertuliskan om..
Hapusbegitulah mas, yg masih jadi pertanyaanku kenapa ya kalo di mall" itu mesjidnya nyempill banget
BalasHapus